KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
hirabbil’alamin. Puji syukur atas rahmat dan rahim dari Allah SWT. Sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah sebagai salah satu tugas mata kuliah Studi
Masyarakat Indonesia.
Materi
dalam makalah yang kami susun bertemakan integrasi dan konflik. Dalam makalah
kami, akan dijelaskan seputar konflik dan bagaimana memanajemen konflik dalam
masyarakat Indonesia. Materi
dalam makalah ini kami ambil dari berbagai sumber untuk melengkapi tulisan ini.
Yang diharapkan nantinya, kita dapat sedikit mengetahui bagaimana sebenarnya mengatasi
konflik di masyarakat.
Kami yakin makalah yang
kami susun masih banyak kelemahan, untuk itu diharapkan kritik dan saran dari
pembaca agar ada perbaikan yang lebih bagus lagi untuk dapat memperbaiki
makalah in. Terima kasih.
DAFTAR ISI
COVER.............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang............................................................................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah......................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Konsep
dasar integrasi dan konflik.............................................................................. 3
B.
Akibat
konflik sosial..................................................................................................... 8
C.
pengertian
teori integrasi, teori konflik ........................................................................ 8
D.
perbedaan
antara teoti konsensus dan teori konflik.................................................... 13
E.
cara
mengelola atau manajemen konflik...................................................................... 14
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan........................................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Konflik terjadi karena
adanya perbedaan ciri-ciri individu, pola pikir, adat istiadat, pendapat,
keyakinan, dan lain-lain. Dengan diikut sertakannya ciri-ciri fisik, adat
istiadat, dan keyakinan didalam interaksi sosial maka sangat wajar di negara
kita sering terjadi konflik karena banyak bermacam suku dan adat
istiadat, juga keyakinan. Untuk mencapai keadaan seimbang,
tidaklah mudah bagi sistem sosial atau masyarakat apalagi jika masa
perjalanannya relative masih baru. Integrasi menjadi dambaan bagi masyarakat
pedesaan. Hal ini penting karena dengan adanya integrasi, segala potensi dan energi
anggota masyarakat dapat diarahkan untuk mencapai cita-cita dan tujuan bersama.
Namun tidak jarang masyarakat yang sudah lama sekalipun tidak dapat menghindari
terjadinya konflik, baik konflik antar individu, konflik anta rindividu dengan
kelompok, dan konflik antara kelompok dengan kelompok. Seperti halnya
integrasi,konflik juga merupakan realitas yang ada dalam masyarakat yang tidak
bisa dihindari kehadirannya. Dalam kehidupan masyarakat, yang dikehendaki
adalah integrasi dan sebanyak mungkin tidak terjadi konflik yang dapat
menimbulkan disintegrasi. Dalam Bab ini selanjutnya akan dijelaskan konsep
dasar integrasi dan konflik, teori integrasi dan teori konflik, serta
menunjukkan cara mengelola atau manajemen konflik.
B. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dari makalah ini antara lain:
1.
Apa
sajakah yang termasuk dalam konsep dasar integrasi dan konflik?
2.
Apa
saja akibat dari konflik sosial?
3.
Apa
pengertian teori integrasi, teori konflik ?
4.
Apa
sajakah perbedaan antara teoti konsensus dan teori konflik?
5.
Bagaimana
cara
mengelola atau manajemen konflik.
C. Tujuan
Tujuan
dari makalah ini antapa lain:
1.
Mengetahui
konsep dasar integrasidan konflik.
2.
Mengetahui
akibat dari konflik sosial.
3.
Mengetahui
teori integrasi dan teori konflik.
4.
Mengetahui
perbedaan antara teori konsensus dan teori konflik.
5.
Mengetahui
cara
mengelola atau manajemen konflik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KONSEP
DASAR INTEGRASI DAN KONFLIK
1. Integrasi
Istilah
integrasi berasal dari kata latin “Integrate”, artinya memberi tempat dalam
suatu keseluruhan. Dari kata yang sama dibentuk kata sifat “integer” yang
berarti utuh. Dengan demikian, integrasi berarti membuat unsur-unsur tertent
menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Sesuai
dengan pengertian di atas, integrasi sosial berarti membuat masyarakat menjadi
suatu keseluruhan yang bulat. Integrasi sosial diperlukan baik untuk masyarakat
mikro, masyarakat meso, dan masyarakat makro. Sebuah keluarga yang berantakan
dapat dibangun kembali atau dipersatukan karena adanya komitmen baru dalam
perkawinan merupakan contoh itegrasi social pada masyarakat mikro. Sebuah
organisasi politik yang berada di ambang perpecahan dapat dipersatukan kembali
berkat persatuan pimpinannya dalam mengimplementaskan ideology organisasi,
merupakan contoh integrasi social dalam masyarakat meso. Masyarakat Indonesia
yang berlatar belakang majemuk dalam hal agama, adat istiadat, bahasa, suku
bangsa, dan kebudayaan dapat dipersatukan karena digunakan ideologi Pancasila
seagai sistem nilai bersama masyarakat, merupakan contoh sosial dalam
masyarakat makro.
Makin
tinggi tingkatan masyarakatnya, makin tidak mudah upaya mewujudkan
integrasinya. Dalam masyarakat makro, dibutuhkan beberapa factor pendorong
untuk mengikat unsur-unsurnya agar mereka dapat dipersatukan. Factor-faktor itu
diantaranya sebagai berikut.
1. Daerah-daerah
yang memiliki kesamaan dalam hal flora-fauna, klimatologi, dan hidrogis.
Kesamaan unsur-unsur tersebut dapat membedakan suku yang satu dengan yang lain.
2. Pengalaman
yang sama pada masa silam, suku-suku bangsa yang berbeda-beda di daerah-daerah
yang berlainan pada masa lampau pernah mengalami suka duka yang sama dan masih
tetap mengesan dalam hidup mereka. Pengalaman yang sama, seperti menderita
karena bencana alam, peperangan, penjajahan, dan lain-lain semakin mendekatkan
suku yang satu dengan lainnya.
3. Kemauan
bersama untuk menjadi satu bangsa dengan satu sosio-budaya yang sama tanpa
mengorbankan nilai-nilai budaya kedaerahan. Mula-mula kemauan bersama tersebut dicetuskan
oleh sebagian kecil (golongan elit) dari bangsa tersebut, dan selanjutnya
melalui proses penyadaran kepadagolongan terbesar yang lain dalam waktu
tertentu, gagasan persatuan, dan kesatuan dapat diterima dan disetujui bersama.
4. Adanya
ideology dan norma yuridis yang sama dalam ungkapan politik, terdapat ideology
dan Undang-Undang Dasar yang sama yang menjadi pedoman dalam mengatur kehidupan
individu (warga Negara), masyarakat, dan Negara bangsa.
Integrasi
makro sosial memiliki tujuan akhir, yaitu fungsioanlisasi dan prestasi yang
lebih tinggi (Hendropuspito, 1989:379). Hal ini sesuai dengan pandangan
fungsionalisme yang menyatakan bahwa suatu keseluruhan mempunyai bagian-bagian
yang masing-masing memiliki fungsi sendiri. Fungsi-fungsi dari bagian tersebut
tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling mengkait dan terpadu menuju
tercapainya suatu prestasi besar yang selaras dengan besarnya kesatuan yang
lebih besar. Prestasi besar tersebut juga dibutuhkan oleh bagian-bagian demi
kelangsungan hidupnya. Prestasi masyarakat besar yang telah diintegrasikan
adalah prestasi social-budaya, yang mencakup prestasi di bidang material,
budaya spiritual, dan budaya intelektual. Tujuan lain yang lebih mendesak dari
integrasi makro sosial adalah mencegah terjadinya konflik.
Konflik
sering terjadi pada masyarakat majemuk atau heterogen. Suku-suku atau
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat tersebut sering berkonflik, entah
karena berebut sumber daya atau karena berbeda tujuan. Pemecahan terhadap
masalah tersebut tidaklah mudah. Cara yang paling memungkinkan untuk ditempuh
adalah berinteraksi dengan kesatuan yang lebih besar yang dipandang mampu
memberikan rasa aman dan perlindungan. Kesatuan ini merupakan badan baru di
mana masing-masing bagian atau kelompok social menemukan tempat sebagai bagian
integral. Konflik yang semula negative mengalami transformasi ke arah
konsolidasi dan integrasi.
Masyarakat
menginginkan integrasi baik bercorak horizontal maupun vertical. Dalam
masyarakat besar terdapat banyak bagian dengan satuan-satuan sejenis yang
mengusahakan kepentingan yang sama. Apabila kesatuan-kesatuan tersebut dikelola
secara terpadu dalam satu organisasi setaraf, integrasi seperti itu dinamakan
integrasi horizontal. Jika usaha tersebut berhasil, prestasi akan meningkat.
Namun integrasi horizontal tersebut belum sempurna, masih perlu diadakan
integrasi vertical dari satuan-satuan kegiatan yang sama meskipun taraf tinggi
rendahnya berbeda.
Integrasi
merupakan kebutuhan yang tak terelakkan bagi masyarakat besar, namun dalam
realisasinya tidak dapat dipaksakan. Ada factor penting yang memainkan peran
utama dalam mewujudkan integrasi masyarakat besar yaitu consensus bersama dari
semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kesepakatan bersama tersebut terutama
menyangkut ide-ide pokok atau garis-garis besar aturan permainanyang menjadi
panduan bagi partisipan dalam masyarakat tersebut.
Masyarakat
modern Indonesia sebagai contoh riil dari masyarakat makro, memerlukan tidak
hanya integrasi statis, tetapi juga masyarakat dinamis. Integrasi statis adalah
keadaan kesatuan dan persatuan sejumlah kelompok etnis dan kelompok sosial yang
bhinneka di mana masing-masing kelompok mendapat tempat yang sesuai dalam
struktur dan fungsi sosio-budaya pada tingakt baru yang lebih tinggi untuk jangka
waktu relative lama (Hendropuspito, 1989: 382). Integrasi dinamis didefinisikan
sebagai keadaan kesatuan dan persatuan sejumlah kelompok etnis dan kelompok
social beserta system sosio-budaya mereka dapat disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang berubah-ubah demi tercapainya tujuan bersama (Hendropuspito, 1989:
382).
Penciptaan
integrasi masyarakat membutuhkan dua unsur esensial, yaitu unsur-unsur
sosiologis dan unsur-unsur psikologis-sosial (Hendrasuspito, 2989: 386).
Unsur-unsur
sosiologis yang berfungsi sebagai unsur material meliputi (1) sejumlah kelompok
etnis, atau kelompok kepentingan yang berlainan tempat tingal di daerah-daerah
yang relative berdekatan, (2) terdapat sejumlah satuan sosio-budaya yang
heterogen, (3) adanya kesamaan dalam heterogenitas yang terjadi karena factor
pengalaman historis, kesamaan factor geografis dan kesamaan nasib.
Unsur-unsur
psikologis-sosial sebagai unsur formal, yaitu consensus untuk berintegrasi yang
mencakup: (1) struktur penempatan nilai-nilai sosio-budaya secara garis besar
sehingga kebutuhan kultural semua pihak yang bersangkutan diharapkan dapat
dipenuhi sebaik-baiknya, (2) pembagian hak dan kewajiban secara garis besar
dalam system peraturan umu kesatuan baru, sehingga semua pihak dapat mengetahui
dengan jelas batas-batas kompetensi masing-masing dan bagian hasil yang dapat
diharapkan dari kerja sama tersebut, (3) konsensus tentang kesempatan untuk
ambil bagian secara de jure dan de facto dalam kegiatan (fungsi) masyarakat
besar yang dibangun bersama, (4) dalam masyarakat hasil integrasi yang terdiri
dari suku-suku yang berbeda, perlu adanya consensus yang mengatur pemberian hak
yang sama kepada semua suku untuk berperan serta dalam kegiatan umum
nonpemerintahan.
Untuk
mendukung penciptaan integrasi yang kokoh dalam masyarakat besar (makro),
seperti hanya di Indonesia dibutuhkan factor-faktor penguat sebagai berikut:
(1) pembinaan kesadaran akan integrasi dan partisipasi, (2) pelaksanaan asas
keadilan sosial dan asas subsidiaritas secara murni, (3) pengawasan social
secara intensif, (4) adanya tekanan dari luar, (5) adanya bahasa persatuan, (6)
adanya lambing persatuan dari enam faktor tersebut, lima di antaranya perlu
dikembangkan terus-menerus mengingat kondisi Indonesia yang rawan konflik dan
satu factor lainnya, yaitu tekanan dari luar hanya signifikan ketika ada Negara
asing yang melakukan invasi atau intervensi terhadap kepetingan nasional
Indonesia.
2. Konflik
Seperti
halnya consensus, konflik juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan masyarakat. Ia berlaku dalam semua aspek relasi social yang bentuknya
bisa berupa relasi antarindividu, relasi individu dengan kelompok, ataupun
antara kelompok dengan kelompok.
Istilah
konflik disinonimkan dengan istilah lain, seperti competition, disharmony,
tensions, antagonism, friction, hostility, struggle, atau controversy (Michell,
1994: 1).
Putnam
dan Pook sebagaimana dikutip sejak (1990:150) mengartikan konflik sebagai
interaksi antarindividu, kelompok, atau organisasi yang membuat tujuan atau
arti yang berlawanan dan merasa bahwa orang lain sebagai penganggu potensial
terhadap pencapaian tujuan mereka.
Coser
mendefinisikan konflik sebagai nilai-nilai atau tuntutan yang berkenaan dengan
status kekuasaan, pengumpulan sumber materi atau kekayaan yang langka, di mana
pihak-pihak yang berkonflik tidak hanya ditandai oleh perselisihan, tetapi juga
berusaha untuk memojokkan, merugikan atau kalau perlu menghancukan pihak lawan
(Syamsu, dkk.,1991:57 ).
Konflik
merupakan sesuatu fenomena wajar dan alamih yang terjadi pada masyarakat mana
pun, di mana pun dan kapan pun. Ia hadir di tengah-tengah masyarakat baik
masyarakat yang bertipe tradisional maupun masyarakat yang bercorak modern
(industry). Dalam pandangan Mitchell (1994: 7) konflik adalah sesuatu yang tak
dapat dielakkan karena it can originate in individual and group reactions of
scare resources; to division of function within society; and to differentiation
of power and resultant competition for limited supplies of goods, status valued
roles and power as-an-end-in-itself.
Menurut
Watkins (dalam Chandra 1992: 20-21), konflik terjadi bila tedapat dua hal, (1)
sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis
operasional dapat saling menghambat, (2) ada suatu sasaran yang sama-sama dikejar
oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang mungkin akan mencapainya.
Konflik
yang terjadi pada masyarakat mana saja, tak terkecuali masyarakat modern
(industry) dapat berarti negative maupun positif. Ihak yang memandang konflik
sebagai sesuatu yang negative, akan melihat orang atau kelompok lain sebagai
oposan atau musuh, sehingga mereka sejauh mungkin menghindari konflik. Pihak
yang menolak konflik yakin bahwa konflik bersifat destruktif dan membahayakan
pencapaian tujuan kelompok atau organisasi. Pihak yang memandang konflik
sebagai sesuatu yang negative akan memiliki sikap selalu ingin menang sebaai
prioritas utama. Di lain pihak, terdapat orang atau kelompok yang menyadari
bahwa konflik merupakan bagian integral dari kehidupan prganisasi atau
masyarakat. Konflik dipandang baik karena dapat merangsang orang untuk
memperoleh pemecahan masalah lebih baik. Bahkan di kalangan manajer, konflik
diyakini mampu meningkatkan prestasi organisasi.
Schein
berpendapat bahwa konflik dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan prestasi
anggota dan sekaligus prestasi kelompok (Syamsu, dkk., 1991: 58). Konflik
dyakini menyumbangkan banyak hal, seperti kelestarian kelompok, menambah
kohesivitas kelompok, meningkatkan kedewasaan anggota, merancang pola
komunikasi yang lebih terbuka, mendinamisasikan kelompok dan merangsang anggota
untuk memajukan kelompok.
Masyarakat
selain dapat diintegrasikan melalui konsensus atau kerja sama, juga dapat
dikembangakn melalui mekanisme konflik. Sebagaimana dikatakan Cooley (dalam
Coser, 1964: 18) bahwa konflik dan kerja sama merupakan sesuatu yang tidak
dapat dipisakan. Konflik sebagaimana ditulis Park, cenderung membawa integrasi
(Coser, 1964: 20). Coser (1964: 141) menulis bahwa dalam masyarakat modern,
konflik akan mendorong banyak asosiasi untuk mereduksi atau mengurangi isolasi
atau automisasi.
B.
AKIBAR
KONFLIK SOSIAL
1. Bertambah
kuatnya rasa solidaritas kelompok
2. Hancurnya
kesatuan kelompok
3. Adanya
perubahan kepribadian individu
4. Hancurnya
nilai-nilai dan norma sosial yang ada
5. Hilangnya
harta benda( material) dan korban manusia.
C.
TEORI
INTEGRASI DAN KONFLIK
1. Teori
Integrasi
fungsional
aliran Amerika dan Inggris. Tokoh-tokohnya di antaranya Malinowski, Talcott
Parson, Robert K. Merton, Herbet Spencer, Radcliffe-Brown, dan Evan-Pritchard
sedangkan teori consensus akan meminjam pemikiran tungal Emile Durkheim.
Cancian (dalam Zeiltin, 1995: 15-15)
Membedakan berbagai pendekatan fungsional berupa tiga orientasi dasar dalam
menganalisis gejala-gejala sosial atau masyarakat.Tiga orientasi tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Pendekatan
tradisional yang didasarkan pada suatu anggapan bahwa selurus struktur sosial
yang utama sebagian besar beroperasi untuk menjaga integrasi atau adaptasi
sistem sosial yang benar.
b. Pendekatan
sosiologis, yakni berlandaskan pada beberapa konsep dan asumsi sosiologi secara umum. Orientasi ini sama dengan
analisis sosiologi murni dan sederhana sehingga tidak membutuhkan nama khusus. Orientasi
ini mengarah pada suatu gambaran yang teliti, yakni menggali hubungan yang menentukan
antara berbagai variable sosiologis yang signifikan, beberapa pola dan
keteraturan secara umum.
c. c.
Pendekatan sibernetik, yang didasarkan pada model pengaturan diri atau system keseimbangan.
Model yang terakhir ini Tidak menjelaskan suatu pola melalui akibat atau
konsekuensinya.Cancian menyebutnya fungsionalisme formal.
Struktur
sosial merupakan suatu pola hubungan di dalam setiap satuan sosial yang mapan
dan memiliki identitas sendiri.Struktur tersebut memiliki fungsi atau kegunaan.
Sesuai pendekatan tradisional, setiap struktur sosial memiliki fungsi utama,
yaitu menjaga integritas atau keutuhan dan adaptasi sistem soaial yang lebih
besar. Malinoski memahami masyarakat melalui kacamata kebudayaan dimana semua
unsur kebudayaan merupakan bagian penting dalam masyarakat karena unsur
tersebut memiliki fungsi tertentu (Garna, 1996: 55). Bagi Malinowski, setiap
pola adat kebiasaan merupakan sebagian dari fungsi dasar dalam kebudayaan. Jika
masyarakat dilihat sebagai gabungan dari sistem sosial, sistem tersebut
menyangkut unsur-unsur yang berkaitan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti keselamatan, istirahat,
pakaian, makanan, tempat tinggal, dan lainnya. Dalam memenuhi kebutuhan dasar
tersebut, manusia yang satu dengan yang lain bekerja sama dan berkelompok.
Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi menurut makna yang disepakati
bersama.Mereka membentuk institusi sosial sebagai alat konrol sekaligus
dinamika masyarakat, yang kesemuanya itu dibutuhkan agar elemen-elemen yang ada
di masyarakat dapat dipersatukan.
Talcott Parson, sebagaimana dikutip
Garna (1996: 57) memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang harus memenuhi
empat syarat atau azas agar sistem tersebut berfungsi, yaitu (1) penyesuaian
masyarakat dengan lingkungan, (2) anggota masyarakat harus sepakat akan
ketentuan untuk memilih, mengetahui, dan memahami tujuan kolektif dengan
menyusun struktur tertentu, (3) penentuan anggota masyarakat agar mereka dapat
memainkan peranan dan mematuhi nilai-nilai serta menyelesaikan konflik, (4)
terjadi integrasi dari keadaan yang ada dalam masyarakat dan institusi
dikontrol oleh unsur atau bagian tertentu agar sistem sosial terpelihara.
Sistem soaial akan berfungsi dengan
baik atau dapat dijamin eksistensinya jika sistem tersebut memenuhi empat
syarat, yaitu (1) adaptasi, (2) kemungkinan mencapai tujuan, (3) integrasi
anggota-anggotanya, dan (4) kemampuan mempertahankan identitsanya terhadap
kegoncangan dan ketegangan yang timbul dari dalam (Veeger, 1993: 207).
Dengan menggunakan paradigm
struktural fungsional, Aberle, dkk., mengembangkan konsep prasyarat fungsional
bagi masyarakat, yaitu (1) penyediaan hubungan yang memadai terhadap lingkungan
dan untuk rekrutmen berdasarkan jenis kelamin, (2) petbedaan peranan dan tugas,
(3) komunikasi, (4) orientasi-orientasi kognitif yang terbagi, (5) seperangkat
tujuan (cita-cita) yang terakumulasi dan terbagi, (6) aturan normative mengenai
sarana, (7) peraturan tentang ungkapan
afeksi, (8) sosialisasi, (9) control yang efektif terhadap bentuk-bentuk
perilaku yang mengganggu (Ekeh, 1974: 70).
Kelangsungan
sistem sosial dalam pandangan Merton lebih didasarkan pada adaptasi tingkah
laku dan peristiwa dalam menyesuaikan sistem sosial tertentu, misalnya pola
aturan sosial dalam politik dan keluarga sebagai bagian dari sistem soaial yang
mapan dantersusun. Merton menyusun tiga andaian dalam analisis fungsional,
yaitu (1) satuan-satuan masyarakat berfungsi yang mengandalkan bahwa semua
kepercayaan umum, unsur-unsur kebudayaan atau kebiasaan yang umum seperti
institusi sosial dan aktivitas sosial berfungsi bagi keseluruhan sistem sosial
atau sistem kebudayaan, (2) fungsional itu bersifat sejagad atau universal, di
mana unsur-unsur organisasi sosial atau tingkah laku harus memenuhi yang
berfaedah apabila masih ada (berwujud) dalam jangka waktu tertentu, (3) tanpa
terkecuali, dua konsep penting yaitu kebutuhan yang berfungsi dan institusi
sosial yang dalam perspektif fungsional mengungkap suatu pendekatan tentang
kehidupan sosial atau kehidupan diri kita sendiri dalam suatu masyarakat
(Garna, 1996: 58-59).
Jika Parson memandang masyarakat
sebagai suatu sistem sosial, Spencer melihat sebagai suatu organisme.
Masyarakat diandalkan sebagai organisme hidup yang dilihat dari konsep biologi,
terisi oleh struktur dan fungsi.Masyarakat sebagai suatu sistem teratur dan
berfungsi dengan unsur-unsur atau bagian-bagiannya berada dalam keadaan serasi;
sedangkan struktur dalam masyarakat terwujud oleh hubungan yang tetap dan
serasi diantara bagian-bagian tersebut. Organisme yang membentuk struktur
masyarakat dan bagaimana ia berfungsi dalam meneruskan kehidupan organisme,
menurut Spencer dapat dijelaskan dengan cara berikut: (1) masyarakat, seperti
hanya organisme dapat berkembang, (2) organisme dan masyarakat berbeda
struktur, tetapi sama berlaku perubahan pada fungsi, (3) pertambahan ukuran
organisme dan masyarakat akan berarti berbeda karena bertambah kompleks, (4)
setiap unsur dan bagian secara keseluruhan saling bergantung, karena perubahan
dalam satu bagian akan mempengaruhi unsur atau bagian lainnya, (5) baik pada
organisme atau masyarakat setiap unsur atau bagian itu sendiri merupakan suatu
organisme atau masyarakat kecil (mikro), (6) kehidupan seluruh sistem dapat
hancur, tetapi unsur atau bagian akan terus berlangsung dalam kurun waktu
tertentu (Garna, 1996: 60).
Radcliffe-Brown menganggap struktur
sosial sebagai jaringan soaial yang benar-benar terwujud.Ia merupakan hubungan
yang saling tergantung diatara gejala-gejala yang membentuk unsur-unsur soaila
budaya (Garna, 1996: 61). Semua porsi atau status yang berlainan akan membentuk
bagian-bagian dalam struktur soaial tersebut. Kelangsungan sosial ditentukan
oleh orang yang satu dengan yang lainnya dikontrol oleh aturan atau norma, dan
institusi sosial. Dengan demikian, struktur soaial adalah penataan orang dalam
institusi sosial yang dikontrol oleh norma atau menurut relasi soasial yang
ditentukan.
Berbeda dengan pendapat Malinowski
dan Brown, Evans Pritchard (dalam Garna, 1996: 63) memandang asyarakat sebagai
suatu sistem moral.Dalam institusi sosial yang dipentingkan bukan hanya fungsi,
melainkan ide dan juga nilai-nilai kemanusiaan yang dihasilkan secara
sadar.Tingkah laku dalam institusi sosial tidak ditentukan oleh tuntutan
fungsional dari sistem sosial, tetapi sebaliknya dipahami dalam lingkung
kepercayaan, nilai-nilai dan perasaan para individu.
Teeori-teori di atas memberikan
pemahaman bahwa masyarakat akan dapat berkembang dengan baik jika dipenuhi
prasyarat-prasyarat fungsional, misalnya Malinowski dengan unsur kebudayaannya,
Talcott Parson dengan sistem sosialnya, Spencer dengan teori organisme, Brown
dengan model jaringan sosial, dan Pichard dengan sistem moralnya.
Pada akhirnya dapat disimpulkan
bahwa teori struktural-fungsional memiliki asumsi dasar, yaitu seluruh struktur
sosial atau setidaknya yang diprioritaskan memberikan sumbangan terhadap suatu
integrasi dan adaptasi sistem yang berlaku.Kelangsungan atau struktur pola yang
telah ada dijelaskan melalui konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek yang
keduanya diduga dan perlu serta bermanfaat terhadap permasalahan masyarakat.
Masalah integrasi masyarakat selain
dapat didekati dengan menggunakan paradigma angdikembangkan
dalam teori dstruktural-fungsional dapat pula dipahami dengan teori consensus
dari Emile Durkheim.Emile Durkheim (1858-1917) memberikan sumbangan yang sangat
besar terhadap diterimanya sosiologi sebagai sebuah disiplin otonom.Durkheim
percaya bahwa memperoleh pengetahuan dalam ilmu tentang masyarakat dapat
memberikan sumbangan yang penting dalam menagakkan dan memperkuat dasar-dasar
moral masyarakat.Sepanjang hidupnya, perhatian Durkheim terhadap solidaritas
dan integrasi sosial dilatarbelakangi oleh keadaan keteraturan sosial yang
goyah pada mas republik ketiga selagi dia masih muda.
Asumsi umum yang paling fundamental
yang mendasari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi adalah gejala sosial itu
riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilaku yang berbeda dari
karakteristik psikologis, biologis, atau karaknteristik individu lainnya
(Johnson, 1994: 74). Dalam kaitan
ini, Durkheim memperkenalkan konsep sosiologi yang cukup valid guna memahami
masyarakat, yaitu fakta sosial. Menurut Dirkheim, fakta sosial adalah cara-cara
bertindak, berfikir, dan merasa yang berada di luar individu dan dimuati dengan
kekuatan memaksa, karenanya hal itu mengontrol individu (Campbell, 1994: 168).
Fakta sosial tersebut, menurut Durkheim, berada di luar diri individu, dalam
arti bahwa faktaitu datang kepadanya dari luar dirinya sendiri dan menguasai
tingkah laku individu.
Berdasarkan
konsep fakta sosial, Durkheim menjelakan masyarakat swbagai fenomena moral atau
normatif, di mana para individu diatur tingkah lakunya melalui sebuah sistem
yang dipaksakan atau sistem eksternal yang memaksakan nilai-nilai dan aturan
kepadanya. Individu-individu melaksanakan kewajiban-kewaiban menurut bahasa,
hukum, dan adat istiadat masyarakatnya. Semuanya itu merupakan fakta-fakta
sosial yang tidak diciptakannya, melainkan dengan fakta sosial itu, individu
harus menyesuaikan diri terhadapnya.
Pandangan
Durkheim mengenai manusia dan masyarakat bukanlah konsep yang berdiri sendiri,
terpisah satu dengan lainnya. Dalam pandangan Durkheim, tiap orang (manusia)
lahir dalam lingkungan sosio-budaya tertentu yang dialami seolah-olah datang
dari luar dan tidak tergantung dari keberadaan individu tersebut. Masyarakat
menyampaikan kepada tiap-tiap anggota baru semacam naskah yang berisin
peranan-peranan yang diharapkan dari individu. Orang individu lebih banyak
menyesuaikan diri atau bersifat konformis bahkan konservatif, ketimbang sebagai
pembaharu atau bahkan pemberontak. Masyarakat memiliki semacam “puissanche imperatif at coer citive”,
yakni sebagai suatu kenyataan (fakta) sosial yang dari luar menekan individu
dan mengatur perilakunya (Veeger, 1993: 142) . Sedangkan konsensus
kerupakan awal timbulnya integrasi sosial.
2.
Teori
Konflik
Dalam realitasnya, masyarakat modern tidak hanya bisa
dilihat dari prespektif struktural-fungsional dan teori konsensus yang
menekankan pada integrasi, tetapi juga harus dipandang dari sisi lain, yaitu
muncul dan berkembangnya diferensiasi yang melahirkan konflik atau perpecahan
sebagai akibat ketidak mampuan masyarakat (sistem sosial) memenuhi
(mengakomodasi) tuntutan dari berbagai komponen dalam sistem sosial tersebut.
Perkembangan masyarakat yang tidak selalu menyatu (integrasi), tetapi juga
sering memecah atau memisah menjadikan teori konflik relevan dalam menganalisis
perkembangan masyarakat kontemporer.
D. PERBANDINGAN
TEORI KONSENSUS DAN TEORI KONFLIK
No.
|
Teori Konsensus
|
No.
|
Teori Konflik
|
1.
|
Norma-norma dan nilai-nilai
adalah unsur-unsur dasar dari kehidupan sosial.
|
1.
|
Kepentingan adalah unsur dari
kehidupan sosial
|
2.
|
Kehidupan sosial melibatkan
komitmen.
|
2.
|
Kehidpan sosial melibatkan
dorongan
|
3.
|
Masyarakat perlu kohesif
|
3.
|
Kehidupan sosial perlu
terbagi
|
4.
|
Kehidupan sosial tergantung
pada solidaritas.
|
4.
|
Kehidupan sosial melahirkan
oposisi.
|
5.
|
Kehidupan sosial didasarkan
pada reprositas dan kerja sama.
|
5.
|
Kehidupan sosial melahirkan
konflik struktural
|
6.
|
Sistem-sistem soaial bertahan
pada konsensus.
|
6.
|
Kehidupan sosial melahirkan
kepentingan bagian-bagian
|
7.
|
Masyarakat
mengenal otoritas legitimasi.
|
7.
|
Diferensiasi sosial
melibutkan kekusaan
|
8.
|
Sistem-sistem sosial
diintegrasikan.
|
8.
|
Sistem sosial tidak
terintegrasi dan ditimpa oleh konradiksi-kontradiksi
|
9.
|
Sistem
sosial cenderung bertahan
lama.
|
9.
|
Sistem-sistem sosial
cenderung untuk berubah
|
Dari dua
teori diatas tidak menunjukkan bahwa yang satu lebih baik dari yang lainnya.
Setiap teori berurusan dengan suatu rangkaian masalah yang berbeda. Keduanya
menggunakan konsep yang sama, tetapi dalam cara yang berlawanan dimana diakui
bahwa setiap unsur sosial memiliki suatu fungsi sekaligus juga disfungsi dan
konsensus sekaligus juga konflik. Dalam bahasa Parson,bagaimanapun tidak ada
suatu teori sistematk yang membahas segala sesuatu dan teori konflik hanyalah
satu cara untuk melihat dunia (Craib,1986:92).
Konflik menurut Coser adalah perselisihan mengenai
nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan
sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang
berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan,
melainkan juga memojokkan,merugikan,atau menghancurkan lawan mereka
(Veeger,1993:211).
E.
CARA
MENGELOLA ATAU MANAJEMEN KONFLIK
Tidak
selamanya konflik bersifat destruktif (negative), demikian pula tidak selamanya
konflik bersifat konstruktif (positif ). Namun demikian pandangan yang negative
terhadap konflik juga tidak realistis, sebab dalam kenyataannya dalam sistem
sosial( masyarakat) ketegangan-ketegangan yang mengarah konflik sering muncul.
Meminjam
pendapat Dahrendorf, Cohen dan Marx konflik merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari suatu sistem sosial.
Lewis
A. Coser, penulis buku The Functions of
Social Conflict percaya bahwa konflik sosial memberikan kontribusi dalam
memelihara, menyesuaikan atau adaptasi terhadap hubungan-hubungan sosial dalam
struktur sosial (Coser,1964: 151). Konflik di dalam kelompok diyakini membantu
membangun kesatuan atau membangun kembali satuan dan kohesivitas kelompok yang
sebelumnya terancam oleh permusuhan atau perasaan antagonis (konflik) di antara
anggota-anggotanya. Konflik juga memungkinkan penyesuaian kembali norma-norma
dan hubungan-hubungan kekuasaan didalam kelompok sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan yang di rasakan oleh anggota individual atau subkelompok.
Konflik juga membantu merevitalisasi norma-norma atau bahkan menyumbang
kemunculan norma-norma baru.
Di
kalangan masyarakat yang sangat mendambakan harmoni sosial, seperti halnya
masyarakat jawa, konflik di mitoskan sebagai sesuatu yang negative dan
destruktif. Pandangan demikian tidak sepenuhnya salah, sebab konflik itu
sendiri jika dibiarkan dan tidak ditangani secara baik, ia dapat berkembang dan
mengalami eskalasi yang dampaknya dapat mengganggu atau merusak sistem.Karena
itulah, para anggota kelompok (sistem) utamanya adalah mereka yang berperan
sebagai pemegang kunci (the ruler)
kelompok tersebut harus memiliki kecakapan dalam mengelola (manajemen) konflik.
Secara
Teoritis, eksistensi konflik melibatkan tiga unsur pokok, yaitu situasi
(situation), sikap-sikap (attitudes), dan perilaku (behaviour) (Mitchell,1994:
16). Situasi-situasi tertentu, seperti kelangkaan, kompetesi perubahan yang
terjadi di dalam struktur sosial atau nilai-nilai sosial akan mendorong
munculnya sikap-sikap tertentu., seperti dorongan agresif, ketegangan, ataupun
frustasi. Kondisi demikian pada gilirannya akan melahirkan perilaku yang jauh
berbeda dari sikap-sikap tersebut.
Biasanya
di dalam mengelola konflik terdapat
empat tahap proses yang harus di lalui. Proses manajemen konflik tersebut
adalah (1) Mendiagnosis konflik, (2) Merumuskan masalah konflik, (3) Menetapkan
konsekuensi konflik dan menentukan tujuan pemecahan, dan (4) strategi manajemen
konflik (Sujak,1990: 157).
Sebelum
sampai pada situasi manajemen konflik, perlu di pahami oleh para anggota
kelompok tentang tujuh prinsip untuk memelihara hubungan yang positif selama
terjadi konflik. Tujuh prinsip tersebut adalah (1) Menciptakan pemenang melalui
voting, (2) Mengumumkan penangguhan, (3) Menganjurkan partisipasi yang
sederajat. (4) Aktif mendengarkan, (5) memisahkan fakta dari opini, (6)
memisahkan orang dari masalah, (7) memecah belah dan menaklukan (Hendrick,
2001: 21-27).
Hendrick
(2201: 48-51) merekomendasikan lima gaya manajemen konflik, yaitu (1) gaya
penyelesaian konflik dengan mempersatukan (integrating), (2) gaya penyelesaian
konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging), (3) gaya penyelesaian
konflik dengan mendominasi (dominating), (4) gaya penyelesaian konflik dengan
menghindar (avoiding), (5) gaya penyelesaian konflik dengan kompromis (
compromissing).
Dalam
gaya mempersatukan (integrating), individu yang berkonflik melakukan tukar
menukar informasi. Pihak yang berkonflik memiliki keinginan untuk mengamati
perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua kelompok.
Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan (integrating) mendorong
tumbuhnya creative thinking, dimana mengembangkan alternative merupakan bagian penting
dari gaya penyelesaian konflik ini. Namun demikian, penyelesaian konflik gaya
ini menjadi tidak efektif bila kelompok yang berselisih kurang memiliki
komitmen apalagi pihak-pihak yang berkonflik tidak memiliki kesabaran untuk
menyelesaikan konflik.
Gaya
penyelesaian konflik dengan model obliging, mengandalkan adanya kerelaan
membantu, menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain, sementara dirinya
sendiri dinilai rendah. Gaya ini mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap
diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Gaya ini dapat dipakai sebagai
strategi yang sengaja digunakan untuk mengangkat atu menghargai orang lain.
Penggunaan gaya ini dapat menyempitkan perbedaan antarkelompok dan mendorong
pihak yang berkonflik mencari kesamaan dasar. Perhatian yang tinggi kepada
orang lain menyebabkan seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya
terpenuhi oleh pihak lain. Dengan kondisi yang demikian bisa mendorong yang
bersangkutan mengorbankan sesuatu yang penting bagi dirinya. Bila di gunakan secara
efektif, gaya penyelesaian konflik ini dapat mengawetkan dan melanggengkan
hubungan diantara pihak-pihak yang terlibat konflik. Masyarakat jawa tipikal
lebih menyukai cara obliging apalagi mereka sangat mementingkan prinsip hormat
dan rukun dalam kehidupan sosialnya.
Gaya
mendominasi ( dominating) atau pemaksaan (forcing) merupakan lawan dari
obliging. Gaya ini memiliki kecenderungan
menggunakan kekuasaan untuk mendominasi orang lain atau memaksa orang
lain untuk menyetujui atas dasar posisinya. Gaya ini efektif digunakan dalam
situasi kondisi dimana dibutuhkan suatu keputusan yang cepat atau jika
persoalan yang dibicarakan kurang penting. Gaya ini merefleksikan stress yang
tinggi yang dialami oleh pihak yang ingin memaksakan kehendaknya. Gaya ini tercermin
dalam sebuah penyerangan untuk menang yang di ekspresikan melalui “ Lebih baik menembak daripada di tembak”.
Gaya mendominasi paling banyak diasosiasikan dengan gertakan atau hardball
tactic dari para pialang kekuasaan. Kelompok militer lebih memilih gaya ini
karena hasilnya dapat di rasakan langsung.
Gaya
menghindar (avoiding) mengandaikan bahwa seseorang menyadari adanya konflik ,
tetapi bereaksi menghindari, menarik diri dari situasi konflik atau bersikap
netral. Gaya ini cocok jika isu yang muncul tidak begitu penting atau bersifat
minor. Demikian pula jika pihak mengambil keputusan tidak mempunyai informasi
yang cukup untuk memecahkan konflik, menghindar atau menunda merupakan cara
yang tepat. Sebaliknya, gaya ini dapat dapat pula membuat frustasi orang lain
karena jawaban penyelesaian konflik mengambang atau lambat. Masyarakat
Indonesia umumnya dan masyarakat jawa khususnya sering menggunakan cara ini
untuk menyelesaikan konflik.
Gaya
kompromi (compromising) muncul jika pihak yang berkonflik harus mengorbankan
keinginan atau kebutuhannya dan terlibat bersama dalam proses mencapai sasaran
untuk memenuhi kebutuhan kedua belah pihak. Hal ini merupakan orientasi jalan
tengah. Dalam kompromi setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan
menerima sesuatu . Kompromi dipandang efektif sebagai gaya manajemen konflik
bila isu yang dikembangkan sangat komplek s atau bila ada keseimbangan
kekuatan.
Kompromi
bisa menjadi pemecah perbedaan atau pertukaran konsesi, kompromi cocok untuk
kondisi yang tidak mungkin untuk mendapatkan persetujuan total. Suatu
persetujuan memungkinkan setiap pihak menjadi lebih baik atau minimal tidak
akan menjadi suatu persetujuan yang lebih jelek. Kompromi dapat menjadi pilihan
bila model lain gagal dan cara ini hampir selalu dipakai oleh semua pihak yang
berselisih sebagai sarana untuk saling memberi sesuatu guna mendapatkan
pemecahan atau jalan keluar. Partai-partai politik di Indonesia yang berkonflik
sering mengambil jalan kompromi seperti
Golkar, PDI-P , dan Demokrat. Cara inilah yang membuat partai Golkar,PDI-P, dan
Demokrat masih tetap kuat dan solid hingga sekarang.
.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Integrasi
berarti membuat unsur-unsur tertent menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Penciptaan integrasi masyarakat membutuhkan dua unsur esensial, yaitu
unsur-unsur sosiologis dan unsur-unsur psikologis-sosial. konflik juga
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Istilah
konflik disinonimkan dengan istilah lain, seperti competition, disharmony,
tensions, antagonism, friction, hostility, struggle, atau controversy (Michell,
1994: 1). Konflik sosial bisa berakibat (a). Bertambah kuatnya rasa solidaritas
kelompok, (b). Hancurnya kesatuan kelompok, (c) Adanya perubahan kepribadian
individu, (4). Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ad]]a, (5).
Hilangnya harta benda( material) dan korban manusia. Konflik tidak dapat
dihindari dalm interaksi antar individu maupun antar kelompok dalam masyarakat.
Konflik merupaka suatu fenomena wajar yang terjadi pada masyarakat mana pun,di
mana pun, dan kapan pun. Ada faktor penting yang memainkan peran utama dalam
mewujudkan integrasi masyarakat besar, yaitu konsensus bersama dari semua pihak
yang terlibat di dalamnya. Proses manajemen konflik tersebut adalah (1)
Mendiagnosis konflik, (2) Merumuskan masalah konflik, (3) Menetapkan
konsekuensi konflik dan menentukan tujuan pemecahan, dan (4) strategi manajemen
konflik (Sujak,1990: 157). Gaya penyelesaian konflik dengan model obliging,
mengandalkan adanya kerelaan membantu, menempatkan nilai yang tinggi untuk
orang lain,
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Handoyo,Eko.Dkk,2015.Studi Masyarakat
Indonesia:Penerbit Ombak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar