Senin, 03 Oktober 2016

INTEGRASI DAN KONFLIK



KATA PENGANTAR
Alhamdulillah hirabbil’alamin. Puji syukur atas rahmat dan rahim dari Allah SWT. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah sebagai salah satu tugas mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia.
Materi dalam makalah yang kami susun bertemakan integrasi dan konflik. Dalam makalah kami, akan dijelaskan seputar konflik dan bagaimana memanajemen konflik dalam masyarakat Indonesia. Materi dalam makalah ini kami ambil dari berbagai sumber untuk melengkapi tulisan ini. Yang diharapkan nantinya, kita dapat sedikit mengetahui bagaimana sebenarnya mengatasi konflik di masyarakat.
Kami yakin makalah yang kami susun masih banyak kelemahan, untuk itu diharapkan kritik dan saran dari pembaca agar ada perbaikan yang lebih bagus lagi untuk dapat memperbaiki makalah in. Terima kasih.


                                                                                           



  

DAFTAR ISI
COVER.............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah......................................................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan........................................................................................................... 2
BAB  II PEMBAHASAN
A.    Konsep dasar integrasi dan konflik.............................................................................. 3
B.     Akibat konflik sosial..................................................................................................... 8
C.     pengertian teori integrasi, teori konflik ........................................................................ 8
D.    perbedaan antara teoti konsensus dan teori konflik.................................................... 13
E.     cara mengelola atau manajemen konflik...................................................................... 14
BAB  III PENUTUP
Kesimpulan........................................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 19









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Konflik terjadi karena adanya perbedaan ciri-ciri individu, pola pikir, adat istiadat,  pendapat, keyakinan, dan lain-lain. Dengan diikut sertakannya ciri-ciri  fisik, adat istiadat, dan keyakinan didalam interaksi sosial maka sangat wajar di negara kita sering terjadi konflik  karena banyak bermacam suku dan adat istiadat, juga keyakinan. Untuk mencapai keadaan seimbang, tidaklah mudah bagi sistem sosial atau masyarakat apalagi jika masa perjalanannya relative masih baru. Integrasi menjadi dambaan bagi masyarakat pedesaan. Hal ini penting karena dengan adanya integrasi, segala potensi dan energi anggota masyarakat dapat diarahkan untuk mencapai cita-cita dan tujuan bersama. Namun tidak jarang masyarakat yang sudah lama sekalipun tidak dapat menghindari terjadinya konflik, baik konflik antar individu, konflik anta rindividu dengan kelompok, dan konflik antara kelompok dengan kelompok. Seperti halnya integrasi,konflik juga merupakan realitas yang ada dalam masyarakat yang tidak bisa dihindari kehadirannya. Dalam kehidupan masyarakat, yang dikehendaki adalah integrasi dan sebanyak mungkin tidak terjadi konflik yang dapat menimbulkan disintegrasi. Dalam Bab ini selanjutnya akan dijelaskan konsep dasar integrasi dan konflik, teori integrasi dan teori konflik, serta menunjukkan cara mengelola atau manajemen konflik.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini antara lain:
1.      Apa sajakah yang termasuk dalam konsep dasar integrasi dan konflik?
2.      Apa saja akibat dari konflik sosial?
3.      Apa pengertian teori integrasi, teori konflik ?
4.      Apa sajakah perbedaan antara teoti konsensus dan teori konflik?
5.      Bagaimana cara mengelola atau manajemen konflik.



C.    Tujuan
Tujuan dari makalah ini antapa lain:
1.      Mengetahui konsep dasar integrasidan konflik.
2.      Mengetahui akibat dari konflik sosial.
3.      Mengetahui teori integrasi dan teori konflik.
4.      Mengetahui perbedaan antara teori konsensus dan teori konflik.
5.      Mengetahui cara mengelola atau manajemen konflik.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    KONSEP DASAR INTEGRASI DAN KONFLIK
1.      Integrasi
Istilah integrasi berasal dari kata latin “Integrate”, artinya memberi tempat dalam suatu keseluruhan. Dari kata yang sama dibentuk kata sifat “integer” yang berarti utuh. Dengan demikian, integrasi berarti membuat unsur-unsur tertent menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Sesuai dengan pengertian di atas, integrasi sosial berarti membuat masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang bulat. Integrasi sosial diperlukan baik untuk masyarakat mikro, masyarakat meso, dan masyarakat makro. Sebuah keluarga yang berantakan dapat dibangun kembali atau dipersatukan karena adanya komitmen baru dalam perkawinan merupakan contoh itegrasi social pada masyarakat mikro. Sebuah organisasi politik yang berada di ambang perpecahan dapat dipersatukan kembali berkat persatuan pimpinannya dalam mengimplementaskan ideology organisasi, merupakan contoh integrasi social dalam masyarakat meso. Masyarakat Indonesia yang berlatar belakang majemuk dalam hal agama, adat istiadat, bahasa, suku bangsa, dan kebudayaan dapat dipersatukan karena digunakan ideologi Pancasila seagai sistem nilai bersama masyarakat, merupakan contoh sosial dalam masyarakat makro.
Makin tinggi tingkatan masyarakatnya, makin tidak mudah upaya mewujudkan integrasinya. Dalam masyarakat makro, dibutuhkan beberapa factor pendorong untuk mengikat unsur-unsurnya agar mereka dapat dipersatukan. Factor-faktor itu diantaranya sebagai berikut.
1.      Daerah-daerah yang memiliki kesamaan dalam hal flora-fauna, klimatologi, dan hidrogis. Kesamaan unsur-unsur tersebut dapat membedakan suku yang satu dengan yang lain.
2.      Pengalaman yang sama pada masa silam, suku-suku bangsa yang berbeda-beda di daerah-daerah yang berlainan pada masa lampau pernah mengalami suka duka yang sama dan masih tetap mengesan dalam hidup mereka. Pengalaman yang sama, seperti menderita karena bencana alam, peperangan, penjajahan, dan lain-lain semakin mendekatkan suku yang satu dengan lainnya.
3.      Kemauan bersama untuk menjadi satu bangsa dengan satu sosio-budaya yang sama tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya kedaerahan. Mula-mula kemauan bersama tersebut dicetuskan oleh sebagian kecil (golongan elit) dari bangsa tersebut, dan selanjutnya melalui proses penyadaran kepadagolongan terbesar yang lain dalam waktu tertentu, gagasan persatuan, dan kesatuan dapat diterima dan disetujui bersama.
4.      Adanya ideology dan norma yuridis yang sama dalam ungkapan politik, terdapat ideology dan Undang-Undang Dasar yang sama yang menjadi pedoman dalam mengatur kehidupan individu (warga Negara), masyarakat, dan Negara bangsa.
Integrasi makro sosial memiliki tujuan akhir, yaitu fungsioanlisasi dan prestasi yang lebih tinggi (Hendropuspito, 1989:379). Hal ini sesuai dengan pandangan fungsionalisme yang menyatakan bahwa suatu keseluruhan mempunyai bagian-bagian yang masing-masing memiliki fungsi sendiri. Fungsi-fungsi dari bagian tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling mengkait dan terpadu menuju tercapainya suatu prestasi besar yang selaras dengan besarnya kesatuan yang lebih besar. Prestasi besar tersebut juga dibutuhkan oleh bagian-bagian demi kelangsungan hidupnya. Prestasi masyarakat besar yang telah diintegrasikan adalah prestasi social-budaya, yang mencakup prestasi di bidang material, budaya spiritual, dan budaya intelektual. Tujuan lain yang lebih mendesak dari integrasi makro sosial adalah mencegah terjadinya konflik.
Konflik sering terjadi pada masyarakat majemuk atau heterogen. Suku-suku atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat tersebut sering berkonflik, entah karena berebut sumber daya atau karena berbeda tujuan. Pemecahan terhadap masalah tersebut tidaklah mudah. Cara yang paling memungkinkan untuk ditempuh adalah berinteraksi dengan kesatuan yang lebih besar yang dipandang mampu memberikan rasa aman dan perlindungan. Kesatuan ini merupakan badan baru di mana masing-masing bagian atau kelompok social menemukan tempat sebagai bagian integral. Konflik yang semula negative mengalami transformasi ke arah konsolidasi dan integrasi.
Masyarakat menginginkan integrasi baik bercorak horizontal maupun vertical. Dalam masyarakat besar terdapat banyak bagian dengan satuan-satuan sejenis yang mengusahakan kepentingan yang sama. Apabila kesatuan-kesatuan tersebut dikelola secara terpadu dalam satu organisasi setaraf, integrasi seperti itu dinamakan integrasi horizontal. Jika usaha tersebut berhasil, prestasi akan meningkat. Namun integrasi horizontal tersebut belum sempurna, masih perlu diadakan integrasi vertical dari satuan-satuan kegiatan yang sama meskipun taraf tinggi rendahnya berbeda.
Integrasi merupakan kebutuhan yang tak terelakkan bagi masyarakat besar, namun dalam realisasinya tidak dapat dipaksakan. Ada factor penting yang memainkan peran utama dalam mewujudkan integrasi masyarakat besar yaitu consensus bersama dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kesepakatan bersama tersebut terutama menyangkut ide-ide pokok atau garis-garis besar aturan permainanyang menjadi panduan bagi partisipan dalam masyarakat tersebut.
Masyarakat modern Indonesia sebagai contoh riil dari masyarakat makro, memerlukan tidak hanya integrasi statis, tetapi juga masyarakat dinamis. Integrasi statis adalah keadaan kesatuan dan persatuan sejumlah kelompok etnis dan kelompok sosial yang bhinneka di mana masing-masing kelompok mendapat tempat yang sesuai dalam struktur dan fungsi sosio-budaya pada tingakt baru yang lebih tinggi untuk jangka waktu relative lama (Hendropuspito, 1989: 382). Integrasi dinamis didefinisikan sebagai keadaan kesatuan dan persatuan sejumlah kelompok etnis dan kelompok social beserta system sosio-budaya mereka dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berubah-ubah demi tercapainya tujuan bersama (Hendropuspito, 1989: 382).
Penciptaan integrasi masyarakat membutuhkan dua unsur esensial, yaitu unsur-unsur sosiologis dan unsur-unsur psikologis-sosial (Hendrasuspito, 2989: 386).
Unsur-unsur sosiologis yang berfungsi sebagai unsur material meliputi (1) sejumlah kelompok etnis, atau kelompok kepentingan yang berlainan tempat tingal di daerah-daerah yang relative berdekatan, (2) terdapat sejumlah satuan sosio-budaya yang heterogen, (3) adanya kesamaan dalam heterogenitas yang terjadi karena factor pengalaman historis, kesamaan factor geografis dan kesamaan nasib.
Unsur-unsur psikologis-sosial sebagai unsur formal, yaitu consensus untuk berintegrasi yang mencakup: (1) struktur penempatan nilai-nilai sosio-budaya secara garis besar sehingga kebutuhan kultural semua pihak yang bersangkutan diharapkan dapat dipenuhi sebaik-baiknya, (2) pembagian hak dan kewajiban secara garis besar dalam system peraturan umu kesatuan baru, sehingga semua pihak dapat mengetahui dengan jelas batas-batas kompetensi masing-masing dan bagian hasil yang dapat diharapkan dari kerja sama tersebut, (3) konsensus tentang kesempatan untuk ambil bagian secara de jure dan de facto dalam kegiatan (fungsi) masyarakat besar yang dibangun bersama, (4) dalam masyarakat hasil integrasi yang terdiri dari suku-suku yang berbeda, perlu adanya consensus yang mengatur pemberian hak yang sama kepada semua suku untuk berperan serta dalam kegiatan umum nonpemerintahan.
Untuk mendukung penciptaan integrasi yang kokoh dalam masyarakat besar (makro), seperti hanya di Indonesia dibutuhkan factor-faktor penguat sebagai berikut: (1) pembinaan kesadaran akan integrasi dan partisipasi, (2) pelaksanaan asas keadilan sosial dan asas subsidiaritas secara murni, (3) pengawasan social secara intensif, (4) adanya tekanan dari luar, (5) adanya bahasa persatuan, (6) adanya lambing persatuan dari enam faktor tersebut, lima di antaranya perlu dikembangkan terus-menerus mengingat kondisi Indonesia yang rawan konflik dan satu factor lainnya, yaitu tekanan dari luar hanya signifikan ketika ada Negara asing yang melakukan invasi atau intervensi terhadap kepetingan nasional Indonesia.
2.      Konflik
Seperti halnya consensus, konflik juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Ia berlaku dalam semua aspek relasi social yang bentuknya bisa berupa relasi antarindividu, relasi individu dengan kelompok, ataupun antara kelompok dengan kelompok.
Istilah konflik disinonimkan dengan istilah lain, seperti competition, disharmony, tensions, antagonism, friction, hostility, struggle, atau controversy (Michell, 1994: 1).
Putnam dan Pook sebagaimana dikutip sejak (1990:150) mengartikan konflik sebagai interaksi antarindividu, kelompok, atau organisasi yang membuat tujuan atau arti yang berlawanan dan merasa bahwa orang lain sebagai penganggu potensial terhadap pencapaian tujuan mereka.
Coser mendefinisikan konflik sebagai nilai-nilai atau tuntutan yang berkenaan dengan status kekuasaan, pengumpulan sumber materi atau kekayaan yang langka, di mana pihak-pihak yang berkonflik tidak hanya ditandai oleh perselisihan, tetapi juga berusaha untuk memojokkan, merugikan atau kalau perlu menghancukan pihak lawan (Syamsu, dkk.,1991:57 ).
Konflik merupakan sesuatu fenomena wajar dan alamih yang terjadi pada masyarakat mana pun, di mana pun dan kapan pun. Ia hadir di tengah-tengah masyarakat baik masyarakat yang bertipe tradisional maupun masyarakat yang bercorak modern (industry). Dalam pandangan Mitchell (1994: 7) konflik adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan karena it can originate in individual and group reactions of scare resources; to division of function within society; and to differentiation of power and resultant competition for limited supplies of goods, status valued roles and power as-an-end-in-itself.
Menurut Watkins (dalam Chandra 1992: 20-21), konflik terjadi bila tedapat dua hal, (1) sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis operasional dapat saling menghambat, (2) ada suatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang mungkin akan mencapainya.
Konflik yang terjadi pada masyarakat mana saja, tak terkecuali masyarakat modern (industry) dapat berarti negative maupun positif. Ihak yang memandang konflik sebagai sesuatu yang negative, akan melihat orang atau kelompok lain sebagai oposan atau musuh, sehingga mereka sejauh mungkin menghindari konflik. Pihak yang menolak konflik yakin bahwa konflik bersifat destruktif dan membahayakan pencapaian tujuan kelompok atau organisasi. Pihak yang memandang konflik sebagai sesuatu yang negative akan memiliki sikap selalu ingin menang sebaai prioritas utama. Di lain pihak, terdapat orang atau kelompok yang menyadari bahwa konflik merupakan bagian integral dari kehidupan prganisasi atau masyarakat. Konflik dipandang baik karena dapat merangsang orang untuk memperoleh pemecahan masalah lebih baik. Bahkan di kalangan manajer, konflik diyakini mampu meningkatkan prestasi organisasi.
Schein berpendapat bahwa konflik dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan prestasi anggota dan sekaligus prestasi kelompok (Syamsu, dkk., 1991: 58). Konflik dyakini menyumbangkan banyak hal, seperti kelestarian kelompok, menambah kohesivitas kelompok, meningkatkan kedewasaan anggota, merancang pola komunikasi yang lebih terbuka, mendinamisasikan kelompok dan merangsang anggota untuk memajukan kelompok.
Masyarakat selain dapat diintegrasikan melalui konsensus atau kerja sama, juga dapat dikembangakn melalui mekanisme konflik. Sebagaimana dikatakan Cooley (dalam Coser, 1964: 18) bahwa konflik dan kerja sama merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisakan. Konflik sebagaimana ditulis Park, cenderung membawa integrasi (Coser, 1964: 20). Coser (1964: 141) menulis bahwa dalam masyarakat modern, konflik akan mendorong banyak asosiasi untuk mereduksi atau mengurangi isolasi atau automisasi.
B.     AKIBAR KONFLIK SOSIAL
1.      Bertambah kuatnya rasa solidaritas kelompok
2.      Hancurnya kesatuan kelompok
3.      Adanya perubahan kepribadian individu
4.      Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada
5.      Hilangnya harta benda( material) dan korban manusia.

C.    TEORI INTEGRASI DAN KONFLIK

1.      Teori Integrasi
fungsional aliran Amerika dan Inggris. Tokoh-tokohnya di antaranya Malinowski, Talcott Parson, Robert K. Merton, Herbet Spencer, Radcliffe-Brown, dan Evan-Pritchard sedangkan teori consensus akan meminjam pemikiran tungal Emile Durkheim.
            Cancian (dalam Zeiltin, 1995: 15-15) Membedakan berbagai pendekatan fungsional berupa tiga orientasi dasar dalam menganalisis gejala-gejala sosial atau masyarakat.Tiga orientasi tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Pendekatan tradisional yang didasarkan pada suatu anggapan bahwa selurus struktur sosial yang utama sebagian besar beroperasi untuk menjaga integrasi atau adaptasi sistem sosial yang benar.
b.      Pendekatan sosiologis, yakni berlandaskan pada beberapa konsep dan asumsi sosiologi  secara umum. Orientasi ini sama dengan analisis sosiologi murni dan sederhana sehingga tidak membutuhkan nama khusus. Orientasi ini mengarah pada suatu gambaran yang teliti, yakni menggali hubungan yang menentukan antara berbagai variable sosiologis yang signifikan, beberapa pola dan keteraturan secara umum.
c.       c. Pendekatan sibernetik, yang didasarkan pada model pengaturan diri atau system keseimbangan. Model yang terakhir ini Tidak menjelaskan suatu pola melalui akibat atau konsekuensinya.Cancian menyebutnya fungsionalisme formal.
Struktur sosial merupakan suatu pola hubungan di dalam setiap satuan sosial yang mapan dan memiliki identitas sendiri.Struktur tersebut memiliki fungsi atau kegunaan. Sesuai pendekatan tradisional, setiap struktur sosial memiliki fungsi utama, yaitu menjaga integritas atau keutuhan dan adaptasi sistem soaial yang lebih besar. Malinoski memahami masyarakat melalui kacamata kebudayaan dimana semua unsur kebudayaan merupakan bagian penting dalam masyarakat karena unsur tersebut memiliki fungsi tertentu (Garna, 1996: 55). Bagi Malinowski, setiap pola adat kebiasaan merupakan sebagian dari fungsi dasar dalam kebudayaan. Jika masyarakat dilihat sebagai gabungan dari sistem sosial, sistem tersebut menyangkut unsur-unsur yang berkaitan dalam memenuhi kebutuhan dasar  manusia, seperti keselamatan, istirahat, pakaian, makanan, tempat tinggal, dan lainnya. Dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut, manusia yang satu dengan yang lain bekerja sama dan berkelompok. Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi menurut makna yang disepakati bersama.Mereka membentuk institusi sosial sebagai alat konrol sekaligus dinamika masyarakat, yang kesemuanya itu dibutuhkan agar elemen-elemen yang ada di masyarakat dapat dipersatukan.
            Talcott Parson, sebagaimana dikutip Garna (1996: 57) memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang harus memenuhi empat syarat atau azas agar sistem tersebut berfungsi, yaitu (1) penyesuaian masyarakat dengan lingkungan, (2) anggota masyarakat harus sepakat akan ketentuan untuk memilih, mengetahui, dan memahami tujuan kolektif dengan menyusun struktur tertentu, (3) penentuan anggota masyarakat agar mereka dapat memainkan peranan dan mematuhi nilai-nilai serta menyelesaikan konflik, (4) terjadi integrasi dari keadaan yang ada dalam masyarakat dan institusi dikontrol oleh unsur atau bagian tertentu agar sistem sosial terpelihara.
            Sistem soaial akan berfungsi dengan baik atau dapat dijamin eksistensinya jika sistem tersebut memenuhi empat syarat, yaitu (1) adaptasi, (2) kemungkinan mencapai tujuan, (3) integrasi anggota-anggotanya, dan (4) kemampuan mempertahankan identitsanya terhadap kegoncangan dan ketegangan yang timbul dari dalam (Veeger, 1993: 207).
            Dengan menggunakan paradigm struktural fungsional, Aberle, dkk., mengembangkan konsep prasyarat fungsional bagi masyarakat, yaitu (1) penyediaan hubungan yang memadai terhadap lingkungan dan untuk rekrutmen berdasarkan jenis kelamin, (2) petbedaan peranan dan tugas, (3) komunikasi, (4) orientasi-orientasi kognitif yang terbagi, (5) seperangkat tujuan (cita-cita) yang terakumulasi dan terbagi, (6) aturan normative mengenai sarana, (7)  peraturan tentang ungkapan afeksi, (8) sosialisasi, (9) control yang efektif terhadap bentuk-bentuk perilaku yang mengganggu (Ekeh, 1974: 70).
Kelangsungan sistem sosial dalam pandangan Merton lebih didasarkan pada adaptasi tingkah laku dan peristiwa dalam menyesuaikan sistem sosial tertentu, misalnya pola aturan sosial dalam politik dan keluarga sebagai bagian dari sistem soaial yang mapan dantersusun. Merton menyusun tiga andaian dalam analisis fungsional, yaitu (1) satuan-satuan masyarakat berfungsi yang mengandalkan bahwa semua kepercayaan umum, unsur-unsur kebudayaan atau kebiasaan yang umum seperti institusi sosial dan aktivitas sosial berfungsi bagi keseluruhan sistem sosial atau sistem kebudayaan, (2) fungsional itu bersifat sejagad atau universal, di mana unsur-unsur organisasi sosial atau tingkah laku harus memenuhi yang berfaedah apabila masih ada (berwujud) dalam jangka waktu tertentu, (3) tanpa terkecuali, dua konsep penting yaitu kebutuhan yang berfungsi dan institusi sosial yang dalam perspektif fungsional mengungkap suatu pendekatan tentang kehidupan sosial atau kehidupan diri kita sendiri dalam suatu masyarakat (Garna, 1996: 58-59).
            Jika Parson memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial, Spencer melihat sebagai suatu organisme. Masyarakat diandalkan sebagai organisme hidup yang dilihat dari konsep biologi, terisi oleh struktur dan fungsi.Masyarakat sebagai suatu sistem teratur dan berfungsi dengan unsur-unsur atau bagian-bagiannya berada dalam keadaan serasi; sedangkan struktur dalam masyarakat terwujud oleh hubungan yang tetap dan serasi diantara bagian-bagian tersebut. Organisme yang membentuk struktur masyarakat dan bagaimana ia berfungsi dalam meneruskan kehidupan organisme, menurut Spencer dapat dijelaskan dengan cara berikut: (1) masyarakat, seperti hanya organisme dapat berkembang, (2) organisme dan masyarakat berbeda struktur, tetapi sama berlaku perubahan pada fungsi, (3) pertambahan ukuran organisme dan masyarakat akan berarti berbeda karena bertambah kompleks, (4) setiap unsur dan bagian secara keseluruhan saling bergantung, karena perubahan dalam satu bagian akan mempengaruhi unsur atau bagian lainnya, (5) baik pada organisme atau masyarakat setiap unsur atau bagian itu sendiri merupakan suatu organisme atau masyarakat kecil (mikro), (6) kehidupan seluruh sistem dapat hancur, tetapi unsur atau bagian akan terus berlangsung dalam kurun waktu tertentu (Garna, 1996: 60).
            Radcliffe-Brown menganggap struktur sosial sebagai jaringan soaial yang benar-benar terwujud.Ia merupakan hubungan yang saling tergantung diatara gejala-gejala yang membentuk unsur-unsur soaila budaya (Garna, 1996: 61). Semua porsi atau status yang berlainan akan membentuk bagian-bagian dalam struktur soaial tersebut. Kelangsungan sosial ditentukan oleh orang yang satu dengan yang lainnya dikontrol oleh aturan atau norma, dan institusi sosial. Dengan demikian, struktur soaial adalah penataan orang dalam institusi sosial yang dikontrol oleh norma atau menurut relasi soasial yang ditentukan.
            Berbeda dengan pendapat Malinowski dan Brown, Evans Pritchard (dalam Garna, 1996: 63) memandang asyarakat sebagai suatu sistem moral.Dalam institusi sosial yang dipentingkan bukan hanya fungsi, melainkan ide dan juga nilai-nilai kemanusiaan yang dihasilkan secara sadar.Tingkah laku dalam institusi sosial tidak ditentukan oleh tuntutan fungsional dari sistem sosial, tetapi sebaliknya dipahami dalam lingkung kepercayaan, nilai-nilai dan perasaan para individu.
            Teeori-teori di atas memberikan pemahaman bahwa masyarakat akan dapat berkembang dengan baik jika dipenuhi prasyarat-prasyarat fungsional, misalnya Malinowski dengan unsur kebudayaannya, Talcott Parson dengan sistem sosialnya, Spencer dengan teori organisme, Brown dengan model jaringan sosial, dan Pichard dengan sistem moralnya.
            Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa teori struktural-fungsional memiliki asumsi dasar, yaitu seluruh struktur sosial atau setidaknya yang diprioritaskan memberikan sumbangan terhadap suatu integrasi dan adaptasi sistem yang berlaku.Kelangsungan atau struktur pola yang telah ada dijelaskan melalui konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek yang keduanya diduga dan perlu serta bermanfaat terhadap permasalahan masyarakat.
            Masalah integrasi masyarakat selain dapat didekati dengan menggunakan paradigma angdikembangkan dalam teori dstruktural-fungsional dapat pula dipahami dengan teori consensus dari Emile Durkheim.Emile Durkheim (1858-1917) memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap diterimanya sosiologi sebagai sebuah disiplin otonom.Durkheim percaya bahwa memperoleh pengetahuan dalam ilmu tentang masyarakat dapat memberikan sumbangan yang penting dalam menagakkan dan memperkuat dasar-dasar moral masyarakat.Sepanjang hidupnya, perhatian Durkheim terhadap solidaritas dan integrasi sosial dilatarbelakangi oleh keadaan keteraturan sosial yang goyah pada mas republik ketiga selagi dia masih muda.
            Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi adalah gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilaku yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karaknteristik individu lainnya (Johnson, 1994: 74). Dalam kaitan ini, Durkheim memperkenalkan konsep sosiologi yang cukup valid guna memahami masyarakat, yaitu fakta sosial. Menurut Dirkheim, fakta sosial adalah cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa yang berada di luar individu dan dimuati dengan kekuatan memaksa, karenanya hal itu mengontrol individu (Campbell, 1994: 168). Fakta sosial tersebut, menurut Durkheim, berada di luar diri individu, dalam arti bahwa faktaitu datang kepadanya dari luar dirinya sendiri dan menguasai tingkah laku individu.
            Berdasarkan konsep fakta sosial, Durkheim menjelakan masyarakat swbagai fenomena moral atau normatif, di mana para individu diatur tingkah lakunya melalui sebuah sistem yang dipaksakan atau sistem eksternal yang memaksakan nilai-nilai dan aturan kepadanya. Individu-individu melaksanakan kewajiban-kewaiban menurut bahasa, hukum, dan adat istiadat masyarakatnya. Semuanya itu merupakan fakta-fakta sosial yang tidak diciptakannya, melainkan dengan fakta sosial itu, individu harus menyesuaikan diri terhadapnya.
            Pandangan Durkheim mengenai manusia dan masyarakat bukanlah konsep yang berdiri sendiri, terpisah satu dengan lainnya. Dalam pandangan Durkheim, tiap orang (manusia) lahir dalam lingkungan sosio-budaya tertentu yang dialami seolah-olah datang dari luar dan tidak tergantung dari keberadaan individu tersebut. Masyarakat menyampaikan kepada tiap-tiap anggota baru semacam naskah yang berisin peranan-peranan yang diharapkan dari individu. Orang individu lebih banyak menyesuaikan diri atau bersifat konformis bahkan konservatif, ketimbang sebagai pembaharu atau bahkan pemberontak. Masyarakat memiliki semacam “puissanche imperatif at coer citive”, yakni sebagai suatu kenyataan (fakta) sosial yang dari luar menekan individu dan mengatur perilakunya (Veeger, 1993: 142) . Sedangkan konsensus kerupakan awal timbulnya integrasi sosial.
2.      Teori Konflik
Dalam realitasnya, masyarakat modern tidak hanya bisa dilihat dari prespektif struktural-fungsional dan teori konsensus yang menekankan pada integrasi, tetapi juga harus dipandang dari sisi lain, yaitu muncul dan berkembangnya diferensiasi yang melahirkan konflik atau perpecahan sebagai akibat ketidak mampuan masyarakat (sistem sosial) memenuhi (mengakomodasi) tuntutan dari berbagai komponen dalam sistem sosial tersebut. Perkembangan masyarakat yang tidak selalu menyatu (integrasi), tetapi juga sering memecah atau memisah menjadikan teori konflik relevan dalam menganalisis perkembangan masyarakat kontemporer.
D.    PERBANDINGAN TEORI KONSENSUS DAN TEORI KONFLIK
No.
Teori Konsensus
No.
Teori Konflik
1.
Norma-norma dan nilai-nilai adalah unsur-unsur dasar dari kehidupan sosial.
1.
Kepentingan adalah unsur dari kehidupan sosial
2.
Kehidupan sosial melibatkan komitmen.
2.
Kehidpan sosial melibatkan dorongan
3.
Masyarakat perlu kohesif
3.
Kehidupan sosial perlu terbagi
4.
Kehidupan sosial tergantung pada solidaritas.
4.
Kehidupan sosial melahirkan oposisi.
5.
Kehidupan sosial didasarkan pada reprositas dan kerja sama.
5.
Kehidupan sosial melahirkan konflik struktural
6.
Sistem-sistem soaial bertahan pada konsensus.
6.
Kehidupan sosial melahirkan kepentingan bagian-bagian
7.
Masyarakat mengenal otoritas legitimasi.
7.
Diferensiasi sosial melibutkan kekusaan
8.
Sistem-sistem sosial diintegrasikan.
8.
Sistem sosial tidak terintegrasi dan ditimpa oleh konradiksi-kontradiksi
9.
Sistem sosial cenderung bertahan lama.
9.
Sistem-sistem sosial cenderung untuk berubah

            Dari dua teori diatas tidak menunjukkan bahwa yang satu lebih baik dari yang lainnya. Setiap teori berurusan dengan suatu rangkaian masalah yang berbeda. Keduanya menggunakan konsep yang sama, tetapi dalam cara yang berlawanan dimana diakui bahwa setiap unsur sosial memiliki suatu fungsi sekaligus juga disfungsi dan konsensus sekaligus juga konflik. Dalam bahasa Parson,bagaimanapun tidak ada suatu teori sistematk yang membahas segala sesuatu dan teori konflik hanyalah satu cara untuk melihat dunia (Craib,1986:92).
Konflik menurut Coser adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan,merugikan,atau menghancurkan lawan mereka (Veeger,1993:211).
E.     CARA MENGELOLA ATAU MANAJEMEN KONFLIK
Tidak selamanya konflik bersifat destruktif (negative), demikian pula tidak selamanya konflik bersifat konstruktif (positif ). Namun demikian pandangan yang negative terhadap konflik juga tidak realistis, sebab dalam kenyataannya dalam sistem sosial( masyarakat) ketegangan-ketegangan yang mengarah  konflik sering muncul.
Meminjam pendapat Dahrendorf, Cohen dan Marx konflik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu sistem sosial.
Lewis A. Coser, penulis buku The Functions of Social Conflict percaya bahwa konflik sosial memberikan kontribusi dalam memelihara, menyesuaikan atau adaptasi terhadap hubungan-hubungan sosial dalam struktur sosial (Coser,1964: 151). Konflik di dalam kelompok diyakini membantu membangun kesatuan atau membangun kembali satuan dan kohesivitas kelompok yang sebelumnya terancam oleh permusuhan atau perasaan antagonis (konflik) di antara anggota-anggotanya. Konflik juga memungkinkan penyesuaian kembali norma-norma dan hubungan-hubungan kekuasaan didalam kelompok sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang di rasakan oleh anggota individual atau subkelompok. Konflik juga membantu merevitalisasi norma-norma atau bahkan menyumbang kemunculan norma-norma baru.
Di kalangan masyarakat yang sangat mendambakan harmoni sosial, seperti halnya masyarakat jawa, konflik di mitoskan sebagai sesuatu yang negative dan destruktif. Pandangan demikian tidak sepenuhnya salah, sebab konflik itu sendiri jika dibiarkan dan tidak ditangani secara baik, ia dapat berkembang dan mengalami eskalasi yang dampaknya dapat mengganggu atau merusak sistem.Karena itulah, para anggota kelompok (sistem) utamanya adalah mereka yang berperan sebagai pemegang kunci (the ruler) kelompok tersebut harus memiliki kecakapan dalam mengelola (manajemen) konflik.
Secara Teoritis, eksistensi konflik melibatkan tiga unsur pokok, yaitu situasi (situation), sikap-sikap (attitudes), dan perilaku (behaviour) (Mitchell,1994: 16). Situasi-situasi tertentu, seperti kelangkaan, kompetesi perubahan yang terjadi di dalam struktur sosial atau nilai-nilai sosial akan mendorong munculnya sikap-sikap tertentu., seperti dorongan agresif, ketegangan, ataupun frustasi. Kondisi demikian pada gilirannya akan melahirkan perilaku yang jauh berbeda dari sikap-sikap tersebut.
Biasanya di dalam  mengelola konflik terdapat empat tahap proses yang harus di lalui. Proses manajemen konflik tersebut adalah (1) Mendiagnosis konflik, (2) Merumuskan masalah konflik, (3) Menetapkan konsekuensi konflik dan menentukan tujuan pemecahan, dan (4) strategi manajemen konflik (Sujak,1990: 157).
Sebelum sampai pada situasi manajemen konflik, perlu di pahami oleh para anggota kelompok tentang tujuh prinsip untuk memelihara hubungan yang positif selama terjadi konflik. Tujuh prinsip tersebut adalah (1) Menciptakan pemenang melalui voting, (2) Mengumumkan penangguhan, (3) Menganjurkan partisipasi yang sederajat. (4) Aktif mendengarkan, (5) memisahkan fakta dari opini, (6) memisahkan orang dari masalah, (7) memecah belah dan menaklukan (Hendrick, 2001: 21-27).
Hendrick (2201: 48-51) merekomendasikan lima gaya manajemen konflik, yaitu (1) gaya penyelesaian konflik dengan mempersatukan (integrating), (2) gaya penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging), (3) gaya penyelesaian konflik dengan mendominasi (dominating), (4) gaya penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding), (5) gaya penyelesaian konflik dengan kompromis ( compromissing).
Dalam gaya mempersatukan (integrating), individu yang berkonflik melakukan tukar menukar informasi. Pihak yang berkonflik memiliki keinginan untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua kelompok. Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan (integrating) mendorong tumbuhnya creative thinking, dimana mengembangkan alternative merupakan bagian penting dari gaya penyelesaian konflik ini. Namun demikian, penyelesaian konflik gaya ini menjadi tidak efektif bila kelompok yang berselisih kurang memiliki komitmen apalagi pihak-pihak yang berkonflik tidak memiliki kesabaran untuk menyelesaikan konflik.
Gaya penyelesaian konflik dengan model obliging, mengandalkan adanya kerelaan membantu, menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain, sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Gaya ini mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Gaya ini dapat dipakai sebagai strategi yang sengaja digunakan untuk mengangkat atu menghargai orang lain. Penggunaan gaya ini dapat menyempitkan perbedaan antarkelompok dan mendorong pihak yang berkonflik mencari kesamaan dasar. Perhatian yang tinggi kepada orang lain menyebabkan seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya terpenuhi oleh pihak lain. Dengan kondisi yang demikian bisa mendorong yang bersangkutan mengorbankan sesuatu yang penting bagi dirinya. Bila di gunakan secara efektif, gaya penyelesaian konflik ini dapat mengawetkan dan melanggengkan hubungan diantara pihak-pihak yang terlibat konflik. Masyarakat jawa tipikal lebih menyukai cara obliging apalagi mereka sangat mementingkan prinsip hormat dan rukun dalam kehidupan sosialnya.
Gaya mendominasi ( dominating) atau pemaksaan (forcing) merupakan lawan dari obliging. Gaya ini memiliki kecenderungan  menggunakan kekuasaan untuk mendominasi orang lain atau memaksa orang lain untuk menyetujui atas dasar posisinya. Gaya ini efektif digunakan dalam situasi kondisi dimana dibutuhkan suatu keputusan yang cepat atau jika persoalan yang dibicarakan kurang penting. Gaya ini merefleksikan stress yang tinggi yang dialami oleh pihak yang ingin memaksakan kehendaknya. Gaya ini tercermin dalam sebuah penyerangan untuk menang yang di ekspresikan melalui “ Lebih baik menembak daripada di tembak”. Gaya mendominasi paling banyak diasosiasikan dengan gertakan atau hardball tactic dari para pialang kekuasaan. Kelompok militer lebih memilih gaya ini karena hasilnya dapat di rasakan langsung.
Gaya menghindar (avoiding) mengandaikan bahwa seseorang menyadari adanya konflik , tetapi bereaksi menghindari, menarik diri dari situasi konflik atau bersikap netral. Gaya ini cocok jika isu yang muncul tidak begitu penting atau bersifat minor. Demikian pula jika pihak mengambil keputusan tidak mempunyai informasi yang cukup untuk memecahkan konflik, menghindar atau menunda merupakan cara yang tepat. Sebaliknya, gaya ini dapat dapat pula membuat frustasi orang lain karena jawaban penyelesaian konflik mengambang atau lambat. Masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat jawa khususnya sering menggunakan cara ini untuk menyelesaikan konflik.
Gaya kompromi (compromising) muncul jika pihak yang berkonflik harus mengorbankan keinginan atau kebutuhannya dan terlibat bersama dalam proses mencapai sasaran untuk memenuhi kebutuhan kedua belah pihak. Hal ini merupakan orientasi jalan tengah. Dalam kompromi setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima sesuatu . Kompromi dipandang efektif sebagai gaya manajemen konflik bila isu yang dikembangkan sangat komplek s atau bila ada keseimbangan kekuatan.
Kompromi bisa menjadi pemecah perbedaan atau pertukaran konsesi, kompromi cocok untuk kondisi yang tidak mungkin untuk mendapatkan persetujuan total. Suatu persetujuan memungkinkan setiap pihak menjadi lebih baik atau minimal tidak akan menjadi suatu persetujuan yang lebih jelek. Kompromi dapat menjadi pilihan bila model lain gagal dan cara ini hampir selalu dipakai oleh semua pihak yang berselisih sebagai sarana untuk saling memberi sesuatu guna mendapatkan pemecahan atau jalan keluar. Partai-partai politik di Indonesia yang berkonflik sering mengambil jalan kompromi  seperti Golkar, PDI-P , dan Demokrat. Cara inilah yang membuat partai Golkar,PDI-P, dan Demokrat masih tetap kuat dan solid hingga sekarang.
.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Integrasi berarti membuat unsur-unsur tertent menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Penciptaan integrasi masyarakat membutuhkan dua unsur esensial, yaitu unsur-unsur sosiologis dan unsur-unsur psikologis-sosial. konflik juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Istilah konflik disinonimkan dengan istilah lain, seperti competition, disharmony, tensions, antagonism, friction, hostility, struggle, atau controversy (Michell, 1994: 1). Konflik sosial bisa berakibat (a). Bertambah kuatnya rasa solidaritas kelompok, (b). Hancurnya kesatuan kelompok, (c) Adanya perubahan kepribadian individu, (4). Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ad]]a, (5). Hilangnya harta benda( material) dan korban manusia. Konflik tidak dapat dihindari dalm interaksi antar individu maupun antar kelompok dalam masyarakat. Konflik merupaka suatu fenomena wajar yang terjadi pada masyarakat mana pun,di mana pun, dan kapan pun. Ada faktor penting yang memainkan peran utama dalam mewujudkan integrasi masyarakat besar, yaitu konsensus bersama dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Proses manajemen konflik tersebut adalah (1) Mendiagnosis konflik, (2) Merumuskan masalah konflik, (3) Menetapkan konsekuensi konflik dan menentukan tujuan pemecahan, dan (4) strategi manajemen konflik (Sujak,1990: 157). Gaya penyelesaian konflik dengan model obliging, mengandalkan adanya kerelaan membantu, menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain,






DAFTAR PUSTAKA
Dr. Handoyo,Eko.Dkk,2015.Studi Masyarakat Indonesia:Penerbit Ombak






Tidak ada komentar:

Posting Komentar