1. Istilah-istilah dalam pendidikan moral
Pendidikan moral sering juga disamakan dengan pendidikan
nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan karakter atau pendidikan akhlak.
Untuk lebih jelasnya, perlu dikaji istilah-istilah yang digunakan dan persamaan
maupun perbedaannya. Kirschenbaum (1995: 57) mengatakan bahwa pendidikan moral
dan pendidikan nilai itu merupakan satu bidang yang sama. Selanjutnya, Kirschenbaum mengatakan: ”Values Education is used as the shorthand
term for the field of values education and moral education. Values Education
and Moral Education is described as an educational field or endeavor with two
complementary goals – helping students lead personally satisfying and socially
constructive lives.”
Pendidikan nilai
digunakan sebagai terma untuk bidang pendidikan nilai dan pendidikan moral
yang memiliki dua tujuan saling melengkapi, yaitu membantu subjek didik menuju
pada kehidupan personal yang memuaskan dan kehidupan sosial yang konstruktif.
Ada empat ”gerakan” utama di dalam pendidikan nilai di
Amerika yaitu Realisasi Nilai, Pendidikan Karakter, Pendidikan Kewargaan, dan
Pendidikan Moral. Gerakan Realisasi Nilai merupakan pendekatan pendidikan nilai
yang dikemukakan oleh Sidney B. Simon pada tahun 1980, bertujuan membantu
individu menentukan, mengenali, melaksanakan, melakukan dan mencapai
nilai-nilai kehidupan. Proses memperoleh
nilai-nilai kehidupan ini bersifat kepuasan personal. Sering juga disebut
sebagai pendidikan kecakapan hidup (life
skills education), yaitu pembelajaran kecakapan dan pengetahuan yang
membantu membimbing anak-anak muda dalam kehidupan yang kompleks, dunia yang
terus berubah. Apapun namanya, banyak metode pendidikan dan kurikulum yang
telah dikembangkan oleh gerakan ini untuk membantu anak-anak muda memiliki
kecakapan untuk merealisasikan nilai-nilainya, agar mereka menjadi orang yang
efektif dalam berbagai situasi, dan dapat menemukan makna hidup.
Realisasi Nilai memberikan pembekalan berbagai hal yaitu:
mengenal diri sendiri (perasaan, keyakinan dan prioritas), self ssteem (menghargai diri sendiri), kemampuan menentukan tujuan,
kecakapan berpikir (berpikir kritis, berpikir kreatif), kecakapan membuat
keputusan, kecakapan komunikasi, kecakapan sosial dan pengetahuan tentang dunia
(Kirschenbaum, 1995: 16-20)
Pendidikan Karakter memfokuskan pada pembelajaran
nilai-nilai tradisional tertentu yang menjadi fondasi kebajikan dan perilaku yang
bertanggung jawab. Oleh karena istilah nilai-nilai tradisional mempunyai
makna ambigu dan kontroversial, maka para ahli pendidikan lebih memilih
menggunakan istilah ”Pendidikan Karakter”.
Karakter yang hendak diwujudkan dalam pendidikan
karakter adalah respek (respek terhadap diri sendiri, respek pada orang lain,
respek pada benda-benda, dan respek pada lingkungan), responsibilitas atau
tanggung jawab sering juga digambarkan sebagai dapat dipercaya, dapat
diandalkan, dan jujur (terhadap diri sendiri dan orang lain), compassion (istilah yang lain adalah
baik hati, penolong, ramah, empatik, human dan toleran), disiplin diri
(termasuk di dalamnya bekerja keras, kemampuan menunda kesenangan, moderasi),
kesetiaan, yaitu kesiapan untuk bertahan dalam waktu lama, yaitu untuk
mempertahankan hubungan ketika dalam
kesulitan, kesetiaan bekerja, tetap percaya diri, kesetiaan melindungi dan menyayangi
seseorang. Selain itu, ada pula watak terpuji lain yang dikembangkan dalam pendidikan karakter, yaitu
keberanian, toleransi, etos kerja dan reverence (Kirschenbaum, 1995: 21-23).
Gerakan ketiga
adalah Pendidikan Kewargaan yang memfokuskan pada nilai-nilai kewargaan yang
menjadi fondasi suatu negara dan dari nilai-nilai tersebut dikembangkan atau
dijabarkan prinsip-prinsip politik dan produk hukum. Nilai-nilai fundamental
menjadi kurikulum utama dari pendidikan kewargaan. Di Amerika Serikat yang
menjadi nilai-nilai fundamental adalah public
good, individual rights, justice, equality, diversity, truth, patriotism
(Kirschenbaum, 1995: 23-24). Tentu saja, setiap negara mempunyai nilai-nilai
fundamental kenegaraan yang berbeda yang menjadi materi Pendidikan Kewargaan.
Di Indonesia, Pendidikan Kewargaan mengacu pada nilai-nilai Pancasila
sebagaimana termaktub di dalam alinea IV
Pembukaan UUD 1945.
Gerakan keempat
dalam pendidikan nilai adalah Pendidikan Moral, di dalamnya tercakup pendekatan
dan metode yang mengajarkan subjek didik berbagai pengetahuan, sikap,
keyakinan, kecakapan dan perilaku agar menjadi orang yang baik, adil, ramah
dalam satu kata yaitu moral. Beberapa
pendekatan dalam gerakan ini dapat disebut sebagai pengajaran ”moral literacy”
(melek moral). Tujuan pendidikan moral adalah untuk menghasilkan individu yang
otonom, yaitu mengetahui nilai-nilai moral dan berkomitmen untuk bertindak
secara konsisten berdasarkan nilai-nilai moral tersebut (Kirschenbaum, 1995:
26-27).
Pendidikan moral
mempunyai kaitan erat dengan komponen-komponen: pengetahuan moral tradisi,
penalaran moral, belas kasih dan altruisme, serta kecenderungan moral. Lickona
(Kirschenbaum, 1995: 28) menggambarkan kecenderungan moral meliputi berhati
nurani, mencintai kebaikan, dapat menguasai diri, rendah hati, kebiasaan moral
dan kehendak baik (will).
Di dalam empat
gerakan ini terdapat bermacam-macam pendekatan khusus seperti pendidikan hukum, pelatihan empati, klarifikasi
nilai dan pembelajaran kooperatif. Ada banyak sekali variasi teknik dan metode
serta aktivitas yang dapat digunakan dalam berbagai pendekatan tersebut.
Kesemuanya dirangkum oleh Kirschenbaum menjadi 100 cara dalam bukunya: 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings
(1995).
Pendapat
ahli lainnya adalah Cooper, dkk. (1998:
162), yang mengatakan bahwa pendidikan nilai memiliki peran sebagai berikut:
Values education, both formal and informal, may
encourage students to:
·
develop their own personal moral codes and have
concern for others;
·
reflect on experiences and search for meaning and
patterns in those experiences;
·
have self-respect and respect for commonly held
values such as honesty, truthfulness and
justice;
·
make socially responsible judgement and be able to
provide justification for decision and actions.
Dari
pendapat Cooper tersebut, dapat ditarik pengertian bahwa pendidikan nilai
mempunyai empat tujuan, yaitu mendorong subjek didik mengembangkan aturan/kode
moral pribadi dan kepedulian terhadap sesama, merefleksikan pengalaman hidupnya
dan mencari makna dan pola-pola dari pengalamannya tersebut, menghargai diri
sendiri dan menghargai nilai-nilai bersama seperti kejujuran, kebenaran dan
keadilan, serta mendorong subjek didik untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial dan mampu memberikan justifikasi/pembenaran
atas keputusan dan tindakannya. Jadi, dimensi yang tercakup di dalam pendidikan
nilai tidak berhenti pada dimensi kognitif, tetapi difokuskan pada dimensi afektif dan perilaku.
Dalam
konteks Indonesia, Marpu Muhidin (2007: 5)
mengatakan bahwa ada banyak istilah yang sering digunakan untuk
pendidikan nilai seperti Pendidikan Budi Pekerti, Pendidikan Moral, Pendidikan
Akhlak, Pendidikan Karakter. Muhidin berpendapat bahwa terma yang mungkin lebih tepat digunakan
adalah ”pendidikan budi pekerti”, karena yang menjadi sasaran kegiatan
pendidikan adalah ”budi” (kesadaran) dan ”pekerti” (tingkah laku atau
perbuatan) subjek didik, agar terarah pada nilai-nilai yang luhur.
Ki Hadjar
Dewantara (1977: 20) mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti sebagai bagian penting dari
pendidikan secara keseluruhan berrtujuan untuk menjadikan subjek didik dapat
menguasai diri sehingga ia dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat
biologis yang tidak baik. Jika pendidikan budi pekerti dapat dilaksanakan
dengan baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkheid) dan ”karakter” (jiwa
yang berazas hukum kebatinan), maka subjek didik akan senantiasa dapat
mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli, yang biologis tidak
baik.
Terminologi
pendidikan moral (moral education)
dalam dua dekade terakhir secara umum digunakan untuk menjelaskan penyelidikan
isu-isu etika di ruang kelas dan sekolah. Dalam praktiknya, pendidikan moral
cenderung menjadi pengajaran etika yang lebih menekankan pada penyampaian
nilai-nilai yang baik dan nilai-nilai
yang buruk. Sedangkan penerapan nilai-nilai itu dalam kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat tidak mendapat porsi yang memadai. Dengan kata lain,
pendidikan moral menjadi sangat normatif dan kurang bersinggungan dengan ranah
afektif dan perilaku siswa. Namun
demikian, terminologi ini dapat dikatakan sebagai terminologi tertua
dalam menyebut pendidikan yang bertujuan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam
kehidupan manusia (Marpu Muhidin, 2007:6).
Pendidikan akhlak merupakan terminologi yang sering muncul dalam diskursus
pendidikan Islam. Sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Miskawaih (Marpu Muhidin, 2007:
8) bahwa pendidikan akhlak merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang
mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik
dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kriteria baik dan buruk untuk
menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai
sumber tertinggi ajaran Islam. Namun demikian dalam implementasinya, pendidikan
akhlak dimaksud masih cenderung pada pengajaran akhlak seperti halnya
pendidikan moral.
Sejak
tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan kembali,
terutama di Amerika Serikat. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya
melalui karyanya: The Return of Character
Education, sebuah buku yang menyadarkan dunia Barat secara khusus, tempat
Lickona hidup dan dunia pendidikan secara umum, bahwa pendidikan karakter
adalah sebuah keharusan (Marpu Muhidin, 2007:8). Lickona di dalam situsnya
(www.cortland.edu/character/articles) mendefinisikan pendidikan karakter
sebagai upaya mengembangkan kebajikan, yaitu keunggulan manusia sebagai fondasi
dari kehidupan yang berguna, bermakna, produktif dan fondasi untuk masyarakat
yang adil, penuh belas kasih dan maju. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa
karakter yang baik meliputi tiga komponen utama, yaitu : moral knowing, moral feeling, moral action. Moral knowing meliputi: sadar moral, mengenal nilai-nilai moral,
perspektif, penalaran moral, pembuatan keputusan dan pengetahuan tentang diri. Moral feeling meliputi: kesadaran hati
nurani, harga diri, empati, mencintai kebaikan, kontrol diri dan rendah hati. Moral action meliputi kompetensi, kehendak baik dan kebiasaan.
Sejalan
dengan Lickona, Ryan dan Bohlin (1999: 5) mengatakan bahwa karakter mengandung
tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing
the good), mencintai kebaikan (loving
the good) dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan
karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik
(mulia). Dengan demikian, pendidikan karakter adalah sebuah upaya membimbing
perilaku manusia menuju standar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan
untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan subjek
didik, baik di rumah, sekolah maupun di lingkup masyarakat yang lebih luas. Fokus pendidikan karakter adalah pada
tujuan-tujuan etika, tetapi praktiknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan
yang penting yang mencakup perkembangan sosial subjek didik.
Tidak
hanya di Amerika Serikat, akhir-akhir ini terma ”pendidikan karakter” di
Indonesia juga lebih populer dari pada pendidikan budi pekerti atau pendidikan moral. Pendidikan
karakter menjadi wacana yang ramai
dibicarakan oleh para ahli dan pembuat kebijakan. Bahkan, sudah ada kebijakan kurikulum di tingkat pusat mengenai
implementasi pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Dalam
kaitan dengan berbagai istilah tersebut, penulis menggrisbawahi adanya variasi gerakan pendidikan nilai menjadi empat pendekatan
sebagaimana dinyatakan oleh Kirschenbaum. Intinya, pendidikan moral atau
pendidikan nilai dengan berbagai pendekatan dan istilah yang berkembang
mempunyai tujuan yang sama, yaitu agar nilai-nilai luhur kemanusiaan mempribadi dalam diri peserta didik. Hanya
saja, di dalam praktiknya terjadi reduksi-reduksi yang mengakibatkan praktik
pendidikan nilai tidak komprehensif, karena lebih mengedepankan pada pengajaran
nilai-nilai saja (sisi kognitif lebih ditekankan). Akibatnya, tujuan pendidikan
nilai kurang tercapai.
2.
Pendidikan moral
sebagai salah satu tujuan pendidikan sekolah
Sekolah
merupakan lingkungan mikrosistem. Bronfenbrenner (1979: 22) mengatakan bahwa mikrosistem
adalah sebuah pola dari aktivitas, peran dan relasi interpersonal yang dialami
oleh seseorang yang sedang tumbuh berkembang di dalam setting tertentu dengan karakteristik fisik khusus, yaitu
suatu lingkungan kehidupan yang di dalamnya seorang individu menghabiskan
sebagian besar waktunya, seperti
keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan tetangga. Di dalam mikrosistem ini, seorang individu
berinteraksi langsung dengan orang tua, guru-guru, teman sebaya dan yang lain.
Seorang anak bukan penerima pasif dari pengalaman, tetapi bersifat interaksi
timbal balik dengan yang lain dan membentuk mikrosistem masing-masing.
Sebagai
sebuah mikrosistem, sekolah diperkirakan mempunyai pengaruh yang kuat yang dapat dilihat secara langsung dalam diri subjek
didik. Terlebih lagi di zaman sekarang, ketika banyak orang tua menaruh harapan
sangat besar terhadap sekolah untuk menjadikan anak-anaknya pintar dan baik.
Sekolah yang baik merupakan keniscayaan agar pengaruhnya terhadap anak menjadi
positif. Sekolah merupakan bentuk pendidikan formal.
Noeng Muhadjir
(2003: 16-18) mengatakan bahwa ditinjau dari segi antropologi kultural dan sosiologi,
ada tiga fungsi utama pendidikan, yaitu menumbuhkan kreativitas subjek-didik,
menumbuhkembangkan nilai-nilai insani dan Ilahi pada subjek didik dan satuan
sosial masyarakat, dan meningkatkan kemampuan kerja produktif pada subjek
didik. Dengan kata lain, fungsi sekolah terkait dengan upaya menumbuhkan
nilai-nilai akademik, nilai-nilai sosial dan nilai-nilai religius. Ketiga
kelompok nilai inilah yang sekarang menjadi wacana dengan istilah yang populer:
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Secara lebih rinci, John I. Goodlad (1984: 51-56)
mengemukakan mengenai tujuan sekolah yang dikelompokkan menjadi empat tujuan, yakni: academic goals, vocational goals,
social-civic and cultural goals dan
personal goals.
Academic goals
atau tujuan akademis mencakup dua hal penting yaitu penguasaan siswa akan
kecakapan dasar dan proses mendasar dalam belajar di satu sisi, dan
pengembangan intelektual di sisi yang lain.
Vocational goals
atau tujuan vokasional meliputi lima hal berikut:
a. Belajar memilih suatu jabatan atau profesi
yang secara personal memuaskan dan sesuai dengan minat dan keahliannya;
b. Belajar membuat keputusan berdasarkan pada
kesadaran dan kemampuan diri untuk memilih karir;
c. Mengembangkan keahlian dan pengetahuan khusus yang
akan menjadikan seseorang memiliki kemandirian ekonomi;
d. Mengembangkan kebiasaan dan sikap seperti
kebanggan sebagai pekerja yang baik yang akan membuat seseorang menjadi
produktif di dalam kehidupan ekonomi;
e. Mengembangkan sikap positif terhadap kerja,
termasuk pengakuan akan kebutuhan membangun kehidupan dan penghargaan terhadap
nilai-nilai sosial dan kehormatan dalam bekerja.
Social, civic
and cultural goals atau tujuan sosial, kewargaan dan budaya merupakan
tujuan yang berkaitan dengan empat hal, yaitu: pemahaman interpersonal,
partisipasi kewarganegaraan, enkulturasi,
pengembangan karakter moral dan etik. Terkait dengan tujuan inilah terdapat peran utama pendidikan nilai di
sekolah.
Khusus untuk pengembangan karakter moral dan etik,
Goodlad mengatakan bahwa pengembangan tersebut mencakup lima hal, yaitu:
mengembangkan penilaian untuk mengevaluasi peristiwa dan fenomena sebagai
sesuatu yang baik atau buruk, mengembangkan komitmen terhadap kebenaran dan
nilai-nilai, belajar menggunakan nilai-nilai dalam membuat pilihan-pilihan,
mengembangkan integritas moral, mengembangkan pemahaman akan pentingnya
tingkahlaku moral.
Sejalan dengan pendapat Goodlad, tujuan sekolah dari
aspek sosial budaya dan kewargaan juga ditekankan oleh Henry Giroux (1988:
xxxiv) yang mengatakan bahwa sekolah berfungsi sebagai ruang publik yang demokratis. Sekolah sebagai tempat demokratis
yang didedikasikan untuk membentuk pemberdayaan diri dan sosial. Dalam arti
ini, sekolah adalah tempat publik bagi subjek didik untuk dapat belajar
pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk hidup dalam demokrasi yang
sesungguhnya. Sekolah bukan sebagai perluasan tempat kerja atau sebagai lembaga
garis depan dalam pertempuran pasar internasional dan kompetisi asing, sekolah
sebagai ruang publik yang demokratis dibangun untuk membentuk siswa dapat mengajukan pertanyaan kritis,
menghargai dialog yang bermakna dan menjadi agensi kemanusiaan. Subjek didik
belajar wacana tentang organisasi umum dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks
ini, sekolah berfungsi untuk mewujudkan
warga negara yang aktif dalam masyarakat yang demokratis.
3.
Pendekatan
komprehensif dalam pendidikan moral
Pendidikan
moral pada masa sekarang menghadapi
berbagai tantangan seiring dengan kemajuan zaman yang ditandai oleh keterbukaan
informasi dan kecanggihan teknologi. Hal ini tentu berbeda sekali dengan masa
lalu. Di lingkungan masyarakat religius tradisional, moral diwariskan kepada
generasi berikutnya secara given yaitu indoktrinasi. Artinya suatu ajaran moral harus
diterima karena memang sejak dahulu diajarkan demikian. Setelah itu, ajaran
tersebut dilaksanakan. Peran akal
sebatas berupaya memahami alasannya dan konsekuensinya. Selain itu, ada pula
keteladanan. Keteladanan atau uswatun khasanah, merupakan bentuk
mengestafetkan moral yang digunakan oleh masyarakat religius tradisional, dan
digunakan pula oleh masyarakat modern sekarang ini. Dalam masyarakat tradisional, keteladanan
diterima secara given tanpa harus
mengejar argumentasi rasionalnya; sedangkan pada masyarakat modern sekarang
keteladanan diterima dengan pemahaman dan argumentasi rasional (Muhadjir, 2004:
163)
Dalam
masyarakat liberal, moral diperkenalkan lewat proses klarifikasi, penjelasan
agar terjadi pencerahan pada subjek didik. Seberapa jauh sesuatu moral diterima
oleh anak, sangat ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak diberikan kebebasan
untuk memutuskan sendiri. Pendekatan klarifikasi nilai adalah salah satu contoh
yang memberikan kebebasan untuk anak menentukan nilai-nilainya. Sebagaimana
dinyatakan oleh Sidney B.
Simon, dkk (1974: 6) bahwa pendekatan klarifikasi nilai
mencoba untuk membantu anak-anak muda menjawab beberapa pertanyaan dan
membangun sistem nilai sendiri. Di dalam
bukunya: Values Clarification,
Simon menjelaskan 79 strategi klarifikasi nilai yang dapat diterapkan, khususnya oleh para guru di sekolah.
Strategi-strategi yang disajikan di dalam buku tersebut disusun oleh Louis
Raths yang diturunkan dari pemikiran John Dewey. Berbeda dengan pendekatan
teoritis yang lain, Raths tidak
mempermasalahkan isi dari nilai-nilai yang dimiliki seseorang, tetapi lebih
memperhatikan proses penilaian. Fokusnya adalah bagaimana orang sampai pada keyakinan
tertentu yang dipegangnya dan membentuk pola perilaku tertentu.
Di
Indonesia, strategi klarifikasi nilai telah diperkenalkan sejak tahun
1980-an dan banyak para pendidik yang
mengkritik dan menolaknya. Hal-hal yang tidak dapat diterima, adalah yang
terkait dengan pilihan anak, misalnya anak dibiarkan tidak mendirikan sholat, sebelum anak sadar akan pentingnya sholat.
Jika dibiarkan, maka dikhawatirkan anak tidak akan melakukan sholat sampai ia
dewasa.
Pendidikan
nilai yang bertumpu pada strategi tunggal sudah tidak memadai untuk dapat
menjadikan subjek didik memiliki moral yang baik. Oleh karena itu diperlukan
berbagai pendekatan yang oleh Kirschenbaum disebut pendekatan komprehensif
(Darmiyati, 2009: 35).
Pendekatan
komprehensif dalam pendidikan moral dan nilai diharapkan dapat memberikan
pemecahan masalah yang relatif lebih tuntas dibandingkan dengan pendekatan
tunggal. Menurut Kirschenbaum (Darmiyati, 2009: 36-37), istilah komprehensif
dalam pendidikan moral mencakup berbagai aspek sebagai berikut:
Pertama, isi pendidikan moral harus komprehensif, meliputi semua
permasalahan yang berkaitan dengan pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi
sampai pertanyaan-pertanyaan etika secara umum.
Kedua, metode pendidikan nilai juga harus komprehensif, termasuk
di dalamnya inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian teladan dan penyiapan
generasi muda agar dapat mandiri dengan
mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggung
jawab dan ketrampilan-ketrampilan hidup yang lain. Generasi muda perlu
memperoleh penanaman nilai-nilai tradisional dari orang dewasa yang menaruh
perhatian kepada mereka, yaitu para anggota keluarga, guru dan masyarakat.
Mereka juga memerlukan teladan dari orang dewasa mengenai integritas
kepribadian dan kebahagiaan hidup. Demikian juga mereka perlu memperoleh
kesempatan yang mendorong mereka memikirkan dirinya dan mempelajari
ketrampilan–ketrampilan untuk mengarahkan kehidupan mereka sendiri.
Ketiga, pendidikan nilai
hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan di kelas, dalam kegiatan
ekstrakurikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara
pemberian penghargaan, dan semua aspek kehidupan. Beberapa contoh mengenai hal
ini, misalnya kegiatan belajar berkelompok; penggunaan bahan-bahan bacaan dan
topik-topik tulisan mengenai kebaikan; penggunaan strategi klarifikasi nilai
dan dilema moral; pemberian teladan tidak merokok, tidak korup, tidak munafik,
dermawan, menyayangi sesama makhluk Allah, dan sebagainya.
Keempat, pendidikan nilai hendaknya terjadi melalui kehidupan
dalam masyarakat. Orang tua, lembaga keagamaan, penegak hukum, polisi,
organisasi kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam pendidikan nilai.
Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan nilai memengaruhi kualitas
moral generasi muda.
Selain pendapat di atas, Noeng Muhadjir
(2003: 164) menawarkan alternatif model pengembangan nilai moral lewat proses
internalisasi. Nilai moral diperkenalkan pada subjek didik dengan mengajak
partisipasi dalam perbuatan, diberi pemahaman rasionalitasnya, sampai
berpartisipasi aktif untuk mempertahankan perbuatan moral tersebut. Pada sisi
lain, subjek didik perlu pula ditumbuhkembangkan penghayatan emosionalnya,
konasinya, sampai keimanannya lewat internalisasi atau menghayati nilai moral
pada ketiga dataran tersebut. Oleh karena keimanan itu dapat menebal atau
menipis, maka internalisasi baik secara rasional maupun lewat penghayatan lain,
diharapkan dapat mempertebal moral dan keimanan subjek didik.
Di samping keempat aspek di atas (isi, metode,
proses dan pendidik), pendidikan nilai juga memerlukan evaluasi yang
komprehensif. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Tujuan
pendidikan nilai meliputi tiga kawasan, yakni penalaran nilai/moral, perasaan
nilai/moral dan perilaku nilai/moral.
Maka, evaluasi pendidikan nilai juga mencakup tiga ranah tersebut. berupa
evaluasi penalaran moral, evaluasi karakteristik afektif, dan evaluasi perilaku
(Darmiyati, 2009: 51).
a.
Evaluasi
penalaran moral
Supaya tujuan pendidikan nilai yang berwujud perilaku
yang diharapkan dapat tercapai, subjek didik harus sudah memiliki kemampuan
berpikir/bernalar dalam permasalahan nilai/moral sampai dapat membuat keputusan
secara mandiri dalam menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Dalam hal
ini, Kohlberg berdasarkan penelitian longitudinal, telah berhasil meredefinisi
pemikiran Dewey mengenai reflective
thinking dan memvalidasi karya Piaget mengenai perkembangan berpikir,
menyusun tingkat-tingkat perkembangan moral (Mosher dalam Darmiyati, 2009: 51).
Reimer (1983: 45)
mengatakan bahwa Kohlberg menyelesaikan
karya Piaget yang belum selesai, tetapi dalam proses tersebut justru Kohlberg secara cemerlang memperluas dan
merevisi temuan-temuan orisinal Piaget.
Tingkat-tingkat
perkembangan moral menurut Kohlberg
dibagi menjadi tiga tingkat dan dalam setiap tingkat ada dua tahap sehingga
seluruhnya ada enam tahap penalaran moral. Tiga tingkat tersebut adalah
prakonvensional, konvensional, dan,
mulai dari masa kanak-kanak sampai masa dewasa. Sama seperti Piaget, Kohlberg
mengatakan bahwa perkembangan manusia atau perubahan dalam perilakunya berjalan
melalui tahap-tahap yang berlaku universal. Lebih tinggi tingkat berpikir
adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi (Zakaria dalam www.pdk.go.id).
Sebagaimana
dinyatakan oleh Darmiyati (2009: 51-52) bahwa tingkat prakonvensional menurut
Kohlberg ditandai oleh keyakinan bahwa benar
berarti mengikuti aturan konkret untuk menghindari hukuman penguasa. Perilaku
yang benar adalah yang dapat memenuhi keinginan sendiri atau keinginan
penguasa. Pada tingkat konvensioanl, benar
berarti memenuhi harapan masyarakat. Keinginan bertindak sesuai dengan harapan
masyarakat mengarahkan seseorang untuk berperilaku yang baik. Pandangan sosial,
loyalitas dan persetujuan oleh pihak lain merupakan perhatian utama orang yang
penalarannya pada tingkat konvensional. Tingkat pascakonvensional atau berprinsip
ditandai oleh kebenaran, nilai atau prinsip-prinsip yang bersifat universal
yang menjadi tanggung jawab, baik individu maupun masyarakat untuk
mendukungnya.
Enam
tahap dalam tingkat penalaran moral dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahap pertama disebut moralitas
heteronomi. Tahap ini digambarkan sebagai suatu orientasi pada hukuman dan
kepatuhan. Penentuan benar atau salah didasarkan pada konsekuensi ragawi suatu
tindakan. Penalaran pada tahap ini sangat egosentrik, penalar tidak dapat
mempertimbangkan perspektif orang lain.
Tahap kedua disebut tujuan
instrumental, individualisme dan pertukaran (kebutuhan dan keinginan). Tahap
ini ditandai oleh pemahaman baik atau benar sebagai sesuatu yang dapat memenuhi
kebutuhan dan keinginan, baik diri sendiri maupun orang lain. Kebutuhan pribadi
dan kebutuhan orang lain merupakan pertimbangan utama penalaran pada tingkat
ini.
Tahap ketiga adalah harapan,
hubungan dan penyesuaian antarpribadi. Mengerjakan sesuatu yang benar pada
tahap ini berarti memenuhi harapan orang-orang lain, loyal terhadap kelompok,
dan dapat dipercaya dalam kelompok tersebut. Perhatian terhadap kesejahteraan
orang lain dianggap hal yang penting. Kesadaran akan perlunya saling menaruh
harapan dan saling memberikan persetujuan terhadap perasaan dan perspektif
orang lain, serta minat kelompok menjadi perspektif sosial seseorang.
Tahap keempat adalah sistem sosial
dan hati nurani. Mengerjakan sesuatu yang benar pada tahap ini berarti
mengerjakan tugas kemasyarakatan dan mendukung aturan sosial yang ada. Tanggung
jawab dan komitmen seseorang haruslah menjaga aturan sosial dan menghormati
diri sendiri.
Tahap kelima adalah kontrak sosial
dan hak individual. Yang dianggap benar menurut tahap ini adalah mendukung
hak-hak dan nilai-nilai dasar, serta saling menyetujui kontrak sosial, bahkan
jika mengerjakan hal itu bertentangan dengan undang-undang dan aturan kelompok
sosial. Orientasi penalaran tahap kelima adalah pada memaksimalkan
kesejahteraan masyarakat dan menghargai kemauan golongan mayoritas, di samping
menjaga hak-hak golongan minoritas. Apabila undang-undang dan aturan yang ada
dianggap tidak sesuai, misalnya bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan,
penalar tahap kelima ini dapat mengkritisinya dan
mengusahakan perubahan. Tahap kelima ini memiliki sifat utilitarianism rational, yakni suatu keyakinan bahwa tugas dan kewajiban harus didasarkan pada tercapainya kebahagiaan bagi sebagian besar manusia. Dapat terjadi pertentangan antara kebenaran menurut hukum dan kebenaran secara moral, dalam hal ini penalar akan mempelajari cara mengatasinya.
mengusahakan perubahan. Tahap kelima ini memiliki sifat utilitarianism rational, yakni suatu keyakinan bahwa tugas dan kewajiban harus didasarkan pada tercapainya kebahagiaan bagi sebagian besar manusia. Dapat terjadi pertentangan antara kebenaran menurut hukum dan kebenaran secara moral, dalam hal ini penalar akan mempelajari cara mengatasinya.
Tahap keenam adalah prinsip etis universal. Pada tahap ini yang
dianggap benar adalah bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip pilihan sendiri
yang sesuai bagi semua manusia. Prinsip-prinsip diterima oleh orang yang berada
pada tahap ini bukan disebabkan oleh persetujuan sosial, tetapi prinsip-prinsip
tersebut berasal dari ide dasar keadilan, yaitu persamaan hak-hak kemanusiaan
dan penghargaan terhadap martabat manusia. Penalar pada tahap ini sudah dapat
membuat keputusan moral secara otonomi. Perhatian utamanya pada tercapainya
keadilan melalui penghargaan terhadap keunikan hak-hak individu (Darmiyati,
2009: 52-53).
Selanjutnya,
Kohlberg menggunakan dilema moral untuk mengetahui kedudukan seseorang dalam
tahap-tahap perkembangan penalaran moral. Dari keputusan seseorang dalam
menghadapi dilema tersebut, disertai alasan yang mendasari keputusan, akan
dapat ditentukan tahap perkembangan penalaran orang tersebut (Darmiyati, 2009:
53).
Mengetahui tahap-tahap perkembangan penalaran moral
seseorang tidak sama dengan mengetahui tindakan moral orang tersebut, karena
antara pemikiran dan tindakan dapat terjadi tidak seiring sejalan. Oleh karena
itu perlu dilakukan evaluasi lain yang dapat mengungkap aspek sikap maupun perilaku.
b. Evaluasi karakteristik afektif
Dupon (Darmiyati, 2009: 54) telah menemukan
tahap-tahap perkembangan afektif sebagai berikut:
a. Impersonal,
egocentric: tidak jelas strukturnya.
b. Heteronomous: berstruktur unilateral, vertikal.
c. Antarpribadi: berstruktur horizontal, bilateral.
d.
e. Psychological-personal: menjadi dasar keterlibatan orang lain atau komitmen
pada sesuatu yang ideal.
f. Autonomous: didominasi oleh sifat otonomi.
g. Integritous: memiliki integritas, mampu mengontrol diri secara
sadar.
Selanjutnya,
dikatakan oleh Darmiyati bahwa untuk menentukan seseorang berada pada tahap
perkembangan afektif yang mana, Dupont menggunakan instrumen yang menuntut
adanya respons yang melibatkan perasaan.
Selain
itu, ada juga pengukuran dengan menggunakan skala sikap seperti yang
dikembangkan oleh Likert atau Guttman dan semantic
differential yang dikembangkan oleh Nuci, dan peneliti lainnya. Walaupun
dinamakan skala sikap, karakteristik afektif yang dievaluasi dapat pula
mencakup minat, motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri dan nilai.
Cara
mengevaluasi capaian belajar dalam ranah afektif dapat dilakukan dengan mengukur afek atau
perasaan seseorang secara tidak langsung, yaitu dengan menafsirkan ada atau
tidaknya afek positif (atau negatif) yang muncul dan intensitas kemunculan afek
dari tindakan atau pendapat seseorang.
Di
antara skala pengukuran yang ada, skala Likert paling banyak digunakan, sebab
relatif lebih mudah pengembangannya dan dapat memiliki reliabilitas yang
tinggi. Skala Likert telah diadaptasi dengan sukses untuk mengukur berbagai
karakteristik afektif.
c. Evaluasi perilaku
Perilaku moral sangat sulit untuk dievaluasi.
Perilaku moral hanya mungkin dievaluasi secara akurat dengan melakukan
observasi (pengamatan) dalam jangka waktu yang relatif lama dan secara
terus-menerus. Dari pengamatan tersebut
dapat ditarik kesimpulan apakah perilaku orang yang diamati telah menunjukkan
watak atau kualitas akhlak yang akan dievaluasi. Misalnya, apakah orang
tersebut benar-benar jujur, adil, memiliki komitmen, beretos kerja, tanggung
jawab, dan sebagainya. Pengamat harus orang yang sudah mengenal orang-orang
yang diobservasi agar penafsirannya terhadap perilaku yang muncul tidak salah
(Darmiyati, 2009: 55).
4. Pendidikan nilai dan pengajaran
bermutu: Dua sisi mata uang pembelajaran
Terry Lovat (2009: 1) mengatakan bahwa penelitian
pendidikan akhir-akhir ini telah menemukan beberapa kelemahan dalam penelitian
terdahulu mengenai keterbatasan peran
guru dan sekolah untuk melakukan
perubahan yang efektif terhadap prestasi siswa. Penelitian terdahulu cenderung
menempatkan pengajaran dan persekolahan
hanya sedikit berperan (peran marginal) dibandingkan dengan peran yang
dimainkan oleh rumah dan latar belakang subjek didik. Lovat mencontohkan
hasil-hasil penelitian terdahulu seperti penelitian Talcott Parsons (1955) yang
menyimpulkan bahwa keluargalah yang menghasilkan kepribadian manusia,
Christopher Jencks (1972) menyimpulkan bahwa karakter dari luaran (output)
sebuah sekolah sangat tergantung pada masukan (input) tunggal, yaitu
karakteristik dari anak-anak yang masuk. Diperkirakan hasil penelitian yang
sangat berpengaruh dan terkenal dalam menyetujui keyakinan ini adalah Plowden Report (Central Advisory Council
1967) di Inggris yang menunjukkan betapa sulitnya anak-anak yang berasal
dari keluarga yang kurang beruntung untuk meraih keberhasilan di sekolah.
Siapapun yang telah mengajar di sekolah akan menggaungkan penemuan-penemuan
tersebut. Masalahnya, Parson, Jencks dan Plowden tidak dapat menjawab
pertanyaan berikut: “Mengapa hal itu dapat terjadi?” “Dapatkah diadakan rezim
pengajaran yang dapat membuat perubahan secara cerdas?” “Adakah pedagogi lain
yang dapat mengubah semua ini?”.
Lovat mengatakan bahwa banyak dari para ahli memandang
dengan pesimis mengenai kapasitas dari agen sosial pengajaran dan persekolahan.
Akibatnya, generasi guru sampai pada keyakinan bahwa
hanya ada sedikit manfaat dalam usaha yang mungkin dapat dilakukan, sehingga
peran sekolah terbatas hanya untuk memberikan kesempatan pada subjek didik yang
telah siap belajar sambil meminimalkan kerusakan bagi subjek didik yang hanya
mempunyai sedikit kesempatan. Lebih jauh
lagi Lovat (2009: 1- 2) mengatakan bahwa:
Furthermore, if school could have such
limited impact even on the easily measurable learning related to cognitive
development, what hope could they have of dealing with the less easily
measurable dimensions of personal, social and moral development? In other
words, the only sensible stance for teachers and school to take on the issue of
values was one of values-neutrality. This belief was most apparent in the
public regime but was not altogether absent in the average private and
religious school.
Worldwide, these beliefs are now being
re-evaluated. Internationally, one finds huge efforts devoted to matters of
civics, citizenship, character education, ethics of persistent and debilitating
problems of age-old conflicts, racism, AIDS and new terrorisms inspired by the
most explicit of values-based beliefs.
Dari kutipan
tersebut dapat diketahui pemikiran Lovat mengenai peran sekolah secara luas
terkait dengan pendidikan nilai/moral. Jika sekolah hanya berdampak sedikit
bahkan hanya pada pembelajaran yang mudah diukur keberhasilannya terkait perkembangan kognitif, maka apa yang
dapat diharapkan dari dimensi yang sulit diukur semisal perkembangan personal,
sosial dan moral subjek didik? Dengan
kata lain, para guru dan pihak sekolah hanya bersikap netral dalam
masalah-masalah nilai di sekolah. Keyakinan ini tampak sekali di
sekolah-sekolah negeri, tetapi tidak demikian halnya untuk sekolah swasta dan
sekolah-sekolah agama.
Keyakinan yang disebutkan di atas, sekarang ini sedang
dievaluasi kembali. Secara internasional, ada usaha besar untuk mewujudkan
pendidikan kewarganegaraan, pendidikan kewargaan, pendidikan karakter, etika
dan pendidikan nilai sebagai perjuangan kemasyarakatan untuk menemukan
cara-cara baru menghadapi masalah-masalah konflik rasisme, AIDS dan terorisme baru yang
diilhami oleh keyakinan berbasis nilai-nilai yang sangat jelas.
Contoh yang sangat terkenal dalam penilaian kembali
ini adalah UNESCO mensponsori sebuah program internasional Pendidikan Nilai
yang dijalankan di 84 negara dan pada tahun 2005 telah dilakukan evaluasi program di lima benua. Usaha
UNESCO tersebut dilakukan berdasarkan penelitian pada pertengahan tahun
1990an yang hasilnya kontradiktif dengan
penemuan penelitian Parson, Jencks dan Plowden. Beberapa tokoh kunci dalam penelitian
terbaru ini adalah orang Amerika: Fred Newmann (1996), Linda Darling-Hammond
(1997, 2000), Linda Darling-Hammond dan Youngs (2002). Penelitian Newmann
dipusatkan pada efek-efek dari ‘dinamika pedagogik” dalam mempengaruhi prestasi
belajar subjek didik. Dinamika yang
dimaksud adalah sebuah gabungan mulai dari ketrampilan teknis sebagai bagian
dari ketrampilan guru-guru sampai pada sifat-sifat yang lebih dalam seperti
“koherensi sekolah” dan penciptaan “lingkungan yang mendukung dan dapat
dipercaya” (Lovat, 2009: 2).
Darling-Hammond melakukan penelitian
dengan keyakinan untuk menunjukkan kekuatan pedagogi dalam membuat perubahan
terhadap potensi subjek didik, termasuk di dalamnya kapasitas untuk mengatasi kekurangan subjek didik yang
berasal dari latar belakang keluarga, bahkan ketidakmampuan subjek didik dalam
hal-hal tertentu. Darling-Hammond menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat
jelas antara pengajaran yang disebutnya sebagai “Pengajaran Bermutu” (Quality Teaching) dan pengajaran yang
biasa yang disebut sebagai “pengajaran tidak efektif”.
Baik
penelitian Newman maupun Darling-Hammond, keduanya menegaskan bahwa Pengajaran
Bermutu meliputi kompetensi teknis guru di sekitar masalah-masalah materi
pembelajaran dan strategi pembelajaran, tetapi yang lebih penting adalah
tentang guru-guru itu sendiri (juga kapasitas sekolah secara menyeluruh) untuk
membangun hubungan positif dan memberikan keteladanan/contoh yang positif.
Inilah petunjuk penting berkaitan dengan peran yang dapat dilakukan oleh Pendidikan Nilai (Values Education).
The Carnegie
Corporation’s Task Force on Learning pada tahun 1996 (Lovat, 2009: 3) menunjukkan titik tolak yang
menentukan dalam perkembangan pemikiran tentang pengajaran bermutu. Penelitian
ini menantang hasil penelitian terdahulu
mengenai kekuatan guru-guru dan persekolahan dalam perubahan prestasi
belajar siswa. Hasil penelitian
tersebut antara lain menyatakan bahwa salah satu masalah yang harus
diatasi adalah usaha reformasi sekolah,
karena selama ini telah tertanam
keyakinan bahwa perbedaan dalam
kinerja sekolah terutama merupakan hasil dari perbedaan kemampuan siswa untuk
dapat belajar (atau tidak).
Lovet menyebut guru-guru yang berkualitas sebagai “especially teachers” untuk menunjukkan
optimisme bahwa tanpa melihat pada konteks sekolah, tetap ada guru-guru yang
merasa bahwa perannya mulia. Tanggung jawab akhir untuk keberhasilan siswa
terletak pada sekolah dan terutama pada guru-guru yang dapat melakukan
perubahan. Tanpa mengesampingkan perkembangan intelektualitas sebagai sasaran
mendasar dari pengajaran dan persekolahan, penelitian Carnegie Corporation menyatakan secara jelas bahwa pembelajaran
yang luas dihubungkan dengan keahlian komunikasi, empati, refleksi dan
manajemen diri.
Pengertian “kedalaman intelektual” begitu sentral bagi
kelompok “pengajaran nilai”, dari awal ditentukan bukan bersifat instrumental,
sederhana dan sempit, tetapi dalam pengertian yang seluas mungkin dikonotasikan
dengan kompetensi interpretasi, komunikasi, negosiasi dan refleksi, dengan
fokus pada manajemen diri. Jadi,
pekerjaan guru mengatasi bentuk-bentuk pekerjaan yang selama ini dikenal
sebagai jenis-jenis prestasi yang sangat mudah diukur dengan tes yang
terstandar atau obeservasi sederhana,
lebih jauh lagi adalah bagaimana guru dapat membuat subjek didiknya
belajar secara layak untuk mencapai “kapasitas komunikatif” dan “refleksi
diri”. Jelaslah, bahwa hasil pembelajaran tidak dengan mudah direduksi ke dalam
bentuk pengukuran yang bersifat intrumentalistik, tetapi lebih dari itu hasil belajar akan
sampai pada tujuan Pendidikan Nilai.
Petunjuk awal tentang Pendidikan Nilai seperti
pengertian “kapasitas komunikatif” memiliki potensi yang besar untuk
menyampaikan sikap dan perilaku yang diperlukan bagi keberhasilan kesadaran
sosial yang lebih tinggi, di samping “refleksi diri” atau “melihat ke dalam
diri” yang juga memiliki potensi yang sama sebagai alat penting dalam
pengembangan moralitas personal yang benar-benar terintegrasi. Ringkasnya, Pengajaran
Bermutu bukan sekedar pembelajaran di
permukaan yang bersifat faktual sebagaimana karakteristik pendidikan pada masa
lalu, tetapi pembelajaran dalam arti sekarang adalah sebuah pembelajaran yang
melibatkan pribadi keseluruhan dalam aspek kognisi, kematangan sosial dan
emosional, juga pengetahuan diri sendiri.
Pengajaran bermutu telah memberi sinyal pada komunitas
pendidikan akan potensi besar dari pengajaran, termasuk di dalamnya implikasi
terhadap dimensi pembelajaran berkaitan dengan penanaman nilai-nilai personal
dan sosial. Kelompok pengajaran bermutu memiliki relevansi yang luas terhadap
dunia dalam mengusahakan Pendidikan Nilai yang tidak akan pernah usang. Bila
dipahami secara benar dan komprehensif, Pendidikan Nilai mempunyai potensi
untuk menggantikan dan melengkapi tujuan implisit dalam Pengajaran Bermutu
(Lovet, 2009: 4).
Dari uraian Lovet tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengajaran nilai pada masa sekarang telah menjadi bagian penting dalam pendidikan nilai.
Pengajaran nilai mempunyai makna yang lebih luas daripada sekedar mengajarkan
nilai-nilai yang bersifat kognitif, tetapi mencakup pengembangan berbagai
dimensi dalam diri peserta didik mulai
dari kecakapan berkomunikasi, manajemen diri,
kesadaran sosial, dan kematangan emosional yang bersifat integratif.
5.
Modeling dan pengajaran bermutu
Pengajaran bermutu tidak pernah diartikan hanya
bersifat instrumentalis murni. Fokus pada nilai-nilai dan saling melengkapi
dalam Pendidikan Nilai adalah satu cara yang dapat dicapai. Tidak ada formula
ajaib di dalamnya dan prestasi subjek didik juga bersifat kompleks. Prestasi
dalam pengertian yang sangat luas melibatkan manusia sebagai keseluruhan dan
semua kemampuan belajar yang dimiliki, termasuk yang berhubungan dengan
kemampuan emosional, sosial, moral dan spiritual subjek didik.
Pada gilirannya, pribadi keseluruhan dalam
pembelajaran mensyaratkan pendekatan holistik dalam pengajaran yang melibatkan
para guru, sekolah dan sistem yang ada di dalamnya. Jenis pengajaran
direpresentasikan dengan baik dalam kriteria Pengajaran Bermutu seperti teknik
dan ketrampilan mengajar sama halnya dengan keteladanan dan relasi yang positif
dengan subjek didik (Lovat, 2009: 4).
Selanjutnya, Lovat (2009: 7) mengatakan bahwa ada tugas dua sisi yang tidak terpisahkan
dari Pendidikan Nilai dan Moral. Pertama, membangun terlebih dahulu sebuah
lingkungan yang di dalamnya ada respek, kepercayaan (trust) dan kepedulian,
sebelum sepatah kata diajarkan/diucapkan. Idealnya, melalui lingkungan
yang kondusif tersebut, subjek didik akan melihat orang-orang di sekitarnya
dihargai oleh seluruh komunitas sekolah yang sebelumnya mungkin subjek didik
tidak memandang respek sebagai sesuatu yang bernilai. Pembelajaran yang seperti itu merupakan
pelajaran yang sangat efektif untuk semua orang. Contohnya, di kalangan muslim,
seorang guru dan sekolahnya menunjukkan
cara-cara yang mengakomodasi ekspresi muslim seperti batasan berpakaian,
makanan atau peribadatan. Bila semua
anggota komunitas sekolah terlibat dalam pemodelan ini, maka jelas transformasi
keyakinan dan perilaku akan lebih mudah untuk diwujudkan. Tetapi, di luar semua
itu, pertama-tama guru-guru hendaklah dilatih secara khusus tentang
pembelajaran yang akan melibatkan mereka. Apabila lingkungan sudah dirancang
bagi terwujudnya respek, trust dan penerimaan diri, tugas selanjutnya adalah
menjelaskan atau memberikan argumentasi tentang pentingnya lingkungan yang
kondusif tersebut bagi umat manusia. Penjelasan tersebut adalah pengajaran atau
aspek kurikulum dari Pendidikan Nilai,
berapapun usia subjek didik.
Tugas kedua
adalah mendorong subjek didik belajar mengenai refleksi diri, yaitu mengetahui
diri sendiri yang akan membawa seseorang melangkah ke luar dari
bayang-bayangnya sendiri dan warisan budayanya, menantang tidak hanya
keyakinan-keyakinan yang bersifat prakonsepsi
dan perilaku-perilaku yang sudah turun-temurun secara budaya dilakukan,
tetapi lebih dari itu agar subjek didik ke luar dari zona nyaman keyakinan dan
perilakunya. Tugas ini disebut dengan
istilah mentransformasi. Inilah arti
penting Pendidikan Nilai di sekolah. Walaupun transformasi itu menyakitkan,
karena semakin lama seseorang berada pada zona nyaman, semakin sulit ia akan berubah (Lovat, 2009:
8).
Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa sekolah mempunyai peran yang cukup signifikan
dalam pendidikan nilai. Pengajaran bermutu merupakan pengajaran yang bersifat
holistik karena dimensi nilai-nilai menjadi perhatian dan sebagai bagian
penting dalam prosesnya. Pendidikan nilai dan pengajaran bermutu adalah seperti
dua sisi koin yang tidak terpisahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bronfenbrenner, Urie. (1979). The
ecology of human development- Experiments by nature and design. Diambil
pada tanggal 18 Januari 2010 dari books.google.co.id
Cooper, Maxine, et.al.
(1998). Practical strategies in values education. Dalam Joan Stephenson, et. al. Values in education. London and New York: Routledge.
Darmiyati Zuchdi. (2009). Humanisasi pendidikan – Menemukan kembali
pendidikan yang manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.
Goodlad, John I. (1984). A place called school – Prospects for the
future. New York: McGraw – Hill Book Company.
Giroux, Henry A. (1988). Teachers as Intellectual - toward a critical pedagogy of
learning New York: Bergin
& Garvey.
Ki Hadjar Dewantara. (1977). Karya Ki Hadjar Dewantara – Bagian
pertama: pendidikan. Yogyakarta:
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Khoiron Rosyadi. (2004). Pendidikan profetik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Lickona, Thomas. (1991). Educating
for character – How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books.
Lovat, Terry. (2009). Values
education and quality teaching: two sides of learning coin. Dalam Terry Lovat & Ron Toomey (Eds.) Values education and quality teaching. [versi elektronik]. Diambil
pada tanggal 15 Januari 2010 dari www.springer.com
Marzuki (2009). Prinsip-prinsip
akhlak mulia. Yogyakarta: Debut Wahana
Press bekerjasama dengan FISE UNY.
Noeng Muhadjir. (2003). Ilmu pendidikan dan perubahan sosial.
Yogyakarta: Rake Sarasin.
Ramli Zakaria, T. (2006).
Pendekatan-pendekatan pendidikan nilai dan implementasi dalam pendidikan budi
pekerti. Diambil pada tanggal 11 Juli 2010 dari http://www.pdk.go.id/balitbang/publikasi/jurnal/no
026.
Reimer, Joseph, dkk. (1983). Promoting
moral growth – from Piaget to Kohlberg. Second edition. New
York & London:
Longman Inc.
Shihab, M. Quraish. (1997). Wawasan
Al-Quran – Tafsir maudhu’i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Penerbit Mizan.
Simon, Sidney B.
dkk. (1978). Values clarification – a Handbook of practical strategies for
teachers and students. Revised Edition. New York: Hart Publishing Company, Inc.
Wilds, Elmer H. &
Lottich, Kenneth V. (1961). The
foundations of modern education. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar